China telah banyak berinvestasi dalam pengembangan kapal induknya dalam beberapa tahun terakhir. Yang pertama – Liaoning – menyelesaikan program perbaikan dan peningkatan besar-besaran pada Januari 2019, sementara yang kedua – Type 001A yang dibangun di dalam negeri – saat ini sedang menjalani uji coba laut dan dapat siap untuk beroperasi pada akhir tahun.
Kapal induk ketiga juga dalam pengembangan, meskipun seperti pendahulunya tidak akan bertenaga nuklir. Inilah yang jadi masalah.
Pakar angkatan laut Li Jie mengatakan bahwa untuk benar-benar kompetitif di laut lepas, militer China membutuhkan sebuah kapal yang mampu menampung jet tempur J-15 dalam jumlah banyak, dan untuk melakukan itu membutuhkan kapal induk bertenaga besar.
“China benar-benar membutuhkan kapal induk bertenaga nuklir yang lebih kuat untuk melontarkan jet tempur berbasis kapal induknya, J-15,” katanya sebagaimana dikuitip South China Morning Post Senin 15 Juli 2019.
Meskipun China sudah memiliki kapal selam nuklir, sistem yang mereka gunakan tidak cocok untuk kapal induk karena mereka tidak cukup kuat.
pakar militer yang bermarkas di Beijing, Zhou Chenming mengatakan Prancis mencoba cara ini 25 tahun yang lalu dan tidak begitu berhasil. “Setelah melihat apa yang terjadi dengan [kapal induk Prancis] Charles de Gaulle, China tahu untuk tidak mencoba dan memindahkan reaktor nuklir dari kapal selam ke kapal induk,” katanya.
Sebagai upaya untuk memotong biaya dalam pengembangan Charles de Gaulle – kapal induk bertenaga nuklir pertama dan satu-satunya di Prancis – desainernya menggunakan dua reaktor bertekanan air bawah laut K15 sebagai sistem propulsi utama.
Hal itu ternyata tidak bekerja secara maksimal. Ukuran kapal yang sangat besar dan kurangnya tenaga dari mesin membuat kapal ini sekarang memiliki gelar sebagai kapal induk paling lambat di dunia, dengan kecepatan tertinggi hanya 27 knot. Para ahli mengatakan kapal induk harus dapat mencapai setidaknya 30 knot untuk menciptakan angin yang diperlukan untuk meluncurkan pesawat mereka.
“Kemampuan tempur Charles de Gaulle telah berkurang tajam karena kecepatannya yang rendah,” kata Zhou. “Itu pelajaran yang menyakitkan bagi Prancis.”
Untuk menghindari kemungkinan seperti itu, China sekarang sedang mencari proyek bersama dengan Rusia.
Pada Juni 2018 lalu, China National Nuclear Corporation diundang oleh Moskow untuk mengajukan tawaran untuk proyek pemecah es bertenaga nuklir yang akan ditenagai oleh reaktor modular mengambang. Kapal itu akan memiliki panjang 152 meter (500 kaki), lebar 30 meter dengan perpindahan 30.000 ton.
Uni Soviet mulai menggunakan pemecah es sebagai platform eksperimental untuk pengembangan reaktor nuklir menjadi energi kapal induk pada 1950-an.
Pada saat ia siap untuk mulai membangun kapal induk nuklir pertamanya, Ulyanovsk, pada tahun 1988, mereka telah membangun lima kapal pemecah es nuklir. Sayangnya, kapal induk itu tidak pernah selesai, karena Uni Soviet keburu runtuh pada tahun 1991, empat tahun sebelum peluncuran yang direncanakan.
Li mengatakan bahwa manfaat dari sistem pengujian pada pemecah es adalah bahwa mereka juga menuntut sejumlah besar daya.
“Desain struktural pemecah es yang memungkinkannya untuk memotong es padat berarti membutuhkan sistem penggerak yang kuat,” katanya.
Meski China memiliki pengalaman yang baik dalam pengembangan reaktor nuklir untuk digunakan di darat, China belum menguasai proses “miniaturisasi” yang diperlukan untuk membuat unit tenaga nuklir cocok untuk kapal induk.
“China memiliki kemampuan membangun angkatan laut yang kuat, tetapi masih sangat lemah dalam miniaturisasi nuklir. Jadi itu bisa belajar dari Rusia, ”kata Zhou.
“Rusia memiliki teknologi tetapi tidak punya uang, China memiliki uang, tetapi tidak memiliki teknologi. Dengan bekerja sama, China akan melangkah lebih dekat ke satu hari meluncurkan kapal induk bertenaga nuklir. “