Jika ketegangan antara Amerika dan Iran di Teluk Persia menyebabkan perang, itu bukan yang pertama kali. Serangan terhadap tanker juga bukan hal yang pertama karena pada masa lalu wilayah ini pun telah menjadi ajang perang tanker.
Perang antara Iran dan Irak yang berlangsung selama 1980-an adalah salah satu konflik paling berdarah pada akhir abad ke-20. Korban untuk kedua pasukan berjumlah ratusan ribu.
Kadang-kadang zona tempur memiliki kemiripan dengan medan perang Perang Dunia I, dengan sistem parit yang saling berhadap-hadapan di sepanjang garis depan, serangan infanteri massal dan serangan senjata kimia menjadi ciri perang tersebut. Itu adalah perang darat skala besar, dengan operasi angkatan laut merupakan bidang operasi yang jelas-jelas subordinat.
Namun demikian, ada aspek penting di angkatan laut dari perang – khususnya keputusan kedua belah pihak untuk menyerang kapal dagang musuh di wilayah yang saat ini juga kembali panas dengan serangan sejumlah tanker minyak beberapa waktu terakhir.
Penargetan oleh Iran dan Irak pada kapal dagang dan khususnya kapal tanker minyak dikenal sebagai Perang Tanker. Ini merupakan serangan paling berkelanjutan pada kapal pengiriman sejak Perang Dunia II dan mengakibatkan lebih dari 400 pelaut sipil tewas, ratusan kapal dagang rusak dan kerugian ekonomi yang substansial.
Serangan semacam itu memberikan dampak dan ancaman signifikan terhadap ekonomi internasional yang sangat tergantung pada ekspor minyak Teluk yang melintasi Selat Hormuz. Selain itu Perang Tanker berpotensi untuk meningkatkan eskalasi, ketika kekuatan luar terlibat dalam konflik dengan maksud untuk memastikan kebebasan navigasi.
Dari permulaan permusuhan pada 1981 hingga 1983, serangan Irak bersifat intermiten dan terutama menargetkan kapal-kapal Iran di Teluk utara. Dalam operasi ini angkatan udara Irak menggunakan helikopter Mig 23, jet tempur F-1 Mirage dan Super Frelon yang dipersenjatai dengan rudal jelajah anti-kapal Exocet.
Sejauh operasi anti-shipping mencerminkan pemikiran strategis Irak yang lebih luas, operasi berusaha untuk mendukung operasi di teater darat yang lebih luas. Namun demikian, kapal berbendera internasional juga terlibat dalam konflik dan pada Mei 1982, Atlas 1, sebuah kapal tanker minyak Turki yang memuat minyak Iran di Pulau Kharg, menjadi kapal tanker pertama yang ditabrak dalam perang.
Pada tahun 1984, keputusan Prancis untuk memasok pesawat Super Etendard memungkinkan Baghdad meningkatkan jangkauan serangan Exocet, serta mulai mengintensifkan operasinya terhadap fasilitas ekspor minyak Iran.
Eskalasi anti-pengiriman Irak bertepatan dengan memudarnya harapan mereka akan kemenangan mudah melawan rezim revolusioner di Teheran. Kebuntuan dan gesekan yang muncul di darat terhadap musuh yang berpotensi lebih kuat berarti bahwa Irak dipaksa untuk mencoba serangkaian operasi yang tidak langsung.
Pada bulan Februari 1985, sebuah kapal tanker Liberia, Neptunia, dihantam oleh Irak Exocet dan menjadi kapal tanker pertama yang tenggelam akibat serangan rudal.
Meski kekuatan utama Irak tetap di darat, serangan anti-shipping ini, khususnya terhadap tanker minyak Iran dan instalasi terkait, dipandang sebagai sarana untuk membawa tekanan ekonomi pada rezim Iran.
Rakyat Irak mungkin juga telah menghitung bahwa dengan menyerang jalur pasokan penting Iran ini, akan memaksa Iran melakukan eskalasi yang pada akhirnya akan mengarah pada intervensi internasional yang bertujuan melindungi kebebasan laut.
Intervensi regional dan internasional dianggap oleh Saddam Hussein sebagai satu-satunya cara untuk melindungi pemerintahannya dari Iran yang semakin bangkit kembali.
Pada tahun 1984 Iran memang mulai menanggapi eskalasi Irak ini dengan serangannya sendiri pada kapal yang terkait dengan Irak, termasuk negara Teluk dan kapal berbendera internasional lainnya. Strategi Iran bertujuan menghukum Irak dan sekutu-sekutu Teluknya sementara pada saat yang sama memaksa Irak untuk menghentikan kampanye anti-shipping-nya.
Karena tidak memiliki sistem Exocet yang canggih, Iran mengandalkan serangkaian senjata yang lebih kecil, seperti AS 12 dan Mavericks. Ukuran besar tanker minyak memungkinkan kapal-kapal tersebut secara umum bisa bertahan dari serangan Iran (kebanyakan tidak tenggelam). Tetapi tahun 1987 Iran mulai mengerahkan rudal anti-kapal khusus yakni rudal CSSC-2 Silkworm buatan China.
Ketika Iran menambah kemampuannya dan memperluas penargetannya, pelayaran internasional mulai merasakan efeknya. Yang paling terpukul adalah tetangga Teluk Irak yang pengirimannya mulai menderita dari serangan Iran.
Pihak berwenang Kuwait merasa sangat rentan dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk merefleksikan kembali kapal-kapal Kuwait sebagai pencegah serangan Iran. Sementara negara-negara barat menganggap serangan terhadap pelayaran internasional dan bahaya tindakan Iran menyebabkan potensi penutupan Selat Hormuz akhirnya mengakibatkan intervensi angkatan laut pimpinan Amerika pada tahun 1987.
Intervensi US Navy di perairan Teluk memunculkan bahaya bagi dirinya sendiri. Bahkan sebelum dimulainya latihan reflagging, di mana kapal-kapal Kuwait diganti benderanya sebagai kapal Amerika dan dikawal keluar masuk Teluk oleh US Navy, pasukan Amerika telah menderita korban.
Pada Mei 1987, 37 kru fregat USS Stark tewas setelah serangan Exocet Irak yang tampaknya tidak disengaja. Ironisnya, serangan Irak terhadap USS Stark membantu menekan Washington agar mengirimkan pasukan angkatan lautnya ke Teluk untuk melindungi pelayaran internasional terhadap serangan Iran.
Intervensi Amerika pada akhirnya membantu mengendalikan aktivitas-aktivitas anti-shipping Iran, memastikan kebebasan bergerak untuk pengiriman internasional di Teluk dan akhirnya juga meningkatkan tekanan pada Teheran untuk mengupayakan perdamaian dengan tetangganya.
Secara signifikan, keterlibatan Amerika tidak dilawan oleh Iran dan penggunaan ranjau anti-kapal pada awalnya membuktikan tantangan khusus bagi pasukan Amerika. Tahap perang ini menyaksikan bentrokan antara pasukan Amerika dan Iran, termasuk USS Samuel B. Roberts yang terkena ranjau, tenggelamnya fregat Iran oleh Amerika dan penembakan pesawat sipil sipil Iran secara tidak sengaja. Insiden-insiden ini selalu beresiko eskalasi lebih luas tetapi pada akhirnya, konflik terkendali.
Pergeseran keseimbangan pasukan di Teluk yang dihasilkan dari keterlibatan Amerika harus diakui sebagai salah satu alasan memaksa Iran untuk menghentikan permusuhan pada tahun 1988.
Pada akhirnya, Perang Tanker tidak mengarah pada penutupan Selat Hormuz, juga tidak berdampak signifikan terhadap ekspor minyak dari Teluk atau mengakibatkan peningkatan berkelanjutan dalam harga minyak. Menurut beberapa perkiraan, kampanye gabungan anti-shipping baik Iran dan Irak tidak pernah mengganggu lebih dari dua persen kapal di Teluk.
Namun sejak pertempuran pada 1980-an ini, Pengawal Revolusi Iran telah banyak berinvestasi dalam berbagai kemampuan anti-shipping termasuk, kapal selam kecil, ranjau, persenjataan anti-kapal dan kapal serangan cepat dalam jumlah besar untuk taktik pengeroyokan.
Ancaman terhadap pelayaran internasional dan kebebasan bergerak melalui Selat Hormuz tetap ada. Namun dalam menghadapi tindakan balasan Amerika dan internasional, kemampuan Iran untuk menutup Selat untuk jangka waktu yang lama tetap diragukan.
Sumber: History Today