@Rp16 Miliar, Indonesia Beli 8 Drone ScanEagle

@Rp16 Miliar, Indonesia Beli 8 Drone ScanEagle

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah memberikan kontrak kepada Insitu Inc., Bingen, Washington untuk membangun delapan pesawat tanpa awak atau drone ScanEagle untuk Indonesia. Kontrak diberikan bersamaan dengan penjualan 34 ScanEagle untuk Malaysia , Filipina dan Vietnam.

Dalam pengumuman yang diunggah di situs resmi Pentagon pada 31 Mei 2019 Pentagon mengatakan kontrak senilai US$ 47,9 juta atau sekitar Rp684 miliar untuk pengadaan 34 ScanEagle untuk pemerintah Malaysia (12) ; Indonesia (8); Filipina (8); dan Vietnam (6). Nilai pembelian Indonesia mencapai sekitar Rp131 miliar. Itu berarti satu unit ScanEagle menghabiskan dana sekitar Rp16 miliar.

Kontrak meliputi menyediakan muatan payload, suku cadang dan perbaikan, peralatan pendukung, peralatan, pelatihan, layanan teknis, dan perwakilan layanan lapangan.

Pekerjaan sebagian besar akan dilakukan di Bingen, Washington (77 persen); dan beberapa di Malaysia (9 persen); Filipina (5 persen); Vietnam (5 persen); dan Indonesia (4 persen). Kontrak diperkirakan akan selesai pada Maret 2022.

Dalam pengumuman tersebut juga disampaikan pembelian untuk pemerintah Malaysia mencapai US$ 19.329.334; Filipina US$ 9.633.665; Vietnam US$ 9.770.120; dan Indonesia US$ 9.197.672 atau sekitar Rp131 miliar.

Meski secara penampilan pesawat pengintai ini hampir tidak mengesankan  karena ukurannya yang tidak sebesar Predator atau Reaper, ScanEagle memiliki kemampuan yang sangat diandalkan.

Pesawat tak berawak ScanEagle melakukan debut mereka dalam pertempuran di Fallujah dan Irak barat pada tahun 2005.

Pengalaman positif Marinir dengan ScanEagle mendorong Angkatan Laut untuk memberi penghargaan kepada Boeing kontrak senilai US$ 14,5 juta untuk pembelian ScanEagle. Karena ScanEagle tidak memerlukan jalur pendaratan  dan diluncurkan dari peluncur portabel maka mereka bisa dioperasikan dari kapal kecil. Drone ini menggunakan sistem pendaratan SkyHook.

Sebenarnya, ketika Insitu merancang prototipenya pada tahun 2001, drone ini tidak dimaksudkan untuk penggunaan militer melainkan untuk industri perikanan komersial. Sepanjang perkembangannya, Insitu fokus pada operasi maritim.

Pada tahun 2004, ScanEagle menetapkan rekor untuk penerbangan tak berawak terpanjang di laut dengan waktu 16 jam dan 45 menit. ScanEagle menjadi pilihan UAV untuk Angkatan Laut dan Korps Marinir dan mencapai 600.000 jam tempur pada tahun 2012. Dengan harga US$ 100.000 per pesawat tak berawak, ScanEagle adalah pesawat terlaris Boeing pada tahun 2009.

ScanEagles juga memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan pesawat tak berawak ke wilayah udara Amerika. ScanEagles telah digunakan untuk melawan kebakaran hutan di Alaska, melatih pilot pesawat tak berawak di University of North Dakota dan memeriksa banjir Red River di sepanjang perbatasan Dakota Utara-Minnesota.

ScanEagle adalah pesawat tak berawak komersial pertama yang dioperasikan di Amerika Serikat. Pada bulan Agustus 2013, Federal Aviation Administration memberikan raksasa energi ConocoPhillips  izin untuk menerbangkan pesawat tak berawak tersebut ke operasi pengeboran mereka di Arktik.

ScanEagle membawa kamera optik dan inframerah yang distabilkan memungkinkan operator melacak target diam dan bergerak. Mampu terbang di atas 16.000 kaki dan berkeliaran di medan perang lebih dari 24 jam, platform sepanjang 1,2 meter ini) menyediakan ISR low-altitude yang persisten