Pada 12 April 1999 sekitar pukul 12:30 sore, Brigadir Jenderal Dan Leaf dari Angkatan Udara Amerika, terbang di kokpit F-16. Ribuan kaki di bawahnya konflik berdarah sedang terjadi.
Dia adalah Komandan Wing Ekspedisi Udara ke-315, yang beroperasi dari Pangkalan Udara Aviano di Italia selama Operasi Pasukan Sekutu melawan Yugoslavia yang dimulai pada 24 Maret 1999. Inggris dan Amerika menggunakan serangan udara untuk berusaha mengekang kampanye pembersihan etnis oleh pemerintah Yugoslavia.
Sebagaimana ditulis Popular Mechanics Selasa 28 Mei 2019, pertempuran berlangsung singkat yakni hanya 78 hari, tetapi penggunaan kekuatan udara untuk mempengaruhi kondisi selanjutnya dengan revolusioner. Angkatan Udara Amerika merangkul teknologi yang muncul, seperti pesawat tak berawak, dan mengadopsi taktik baru untuk platform yang sudah ada, seperti pembom F-16 dan B-2, yang akan sangat penting dalam konflik di Afghanistan dan Irak di masa depan.
Kembali ke kisah Dan Leaf. Dia dan wingman-nya sedang mengikuti konvoi dengan truk bahan bakar di tengahnya.
“Kami dapat melihat kota yang baru saja mereka bakar, bagian-bagian kota, dan kami punya banyak waktu,” kenangnya.
Pasangan F-16 terbang tanpa dukungan darat, mengandalkan kamera onboard mereka untuk mengidentifikasi target dan laser yang memandu senjata mereka. Satu pesawat menunjuk target untuk wingman mereka, yang meluncurkan senjata.
“Wingman saya menembakkan roket dan kemudian saya menjatuhkan dua bom seberat 500 pon dan dia menyelesaikan pekerjaan itu dengan satu bom lain,” kata Leaf, yang sekarang sudah pensiun. “Aku merinding memikirkannya.”
Hampir satu dekade sebelumnya, dunia mendapat pandangan pertama tentang persenjataan presisi modern selama Perang Teluk. Konferensi pers di Pentagon menunjukkan gambar bom memasuki cerobong asap dan jendela, presentasi dramatis dari nilai senjata berpemandu laser.
Tetapi kenyataannya adalah bahwa kurang dari 10 persen dari amunisi yang dijatuhkan saat Desert Storm dipandu dengan presisi. Selama Operation Allied Force, jumlah itu naik tiga kali lipat menjadi 29 persen, menurut RAND.
F-16 sering berburu target mobile, misi yang akan menjadi akrab satu dekade kemudian. Mereka juga menerima pengalaman berharga dalam mengoordinasikan serangan kuat terhadap target tetap. “Kami sampai di tempat empat pesawat bisa menjatuhkan delapan bom dan memiliki dampak yang hampir bersamaan dari pesawat terbang yang berbeda di bagian langit yang berbeda,” kata Leaf. “Ada seni perang di sana.”

Para pembom besar memikul beban berat. Operation Allied Force adalah yang pertama menggunakan ketiga pembom berat USAF dalam pertempuran. Sebanyak 10 B-52, B-1, dan B-2 yang dikirim mengantarkan hampir setengah dari 23.000 amunisi udara ke darat yang dijatuhkan selama kampanye.
Para pembom membuktikan dirinya bisa berubah dari pengedar maut yang sembarangan dan pembawa bom nuklir menjadi pemain tempur garis depan. Kuncinya adalah penggunaan Joint Direct Attack Munitions (JDAMs), kit konversi yang mengubah bom bodoh menjadi senjata pintar yang dipandu GPS.
Itu adalah debut pertempuran B-2, yang membuktikan bahwa pesawat siluman cocok untuk misi “malam pertama” di wilayah udara yang dilindungi oleh radar dan senjata anti-pesawat. B-2 juga menggunakan radar aperture sintetisnya untuk mengambil gambar target saat mereka mendekat, untuk membuat JDAM mereka lebih akurat.
“Aplikasi pertama B-1 dan B-2 dengan JDAM di Allied Force adalah perubahan mendasar, “kata Leaf. “Saya pikir Taliban tentu menunjukkan perubahan mendasar. Saya pikir akurasi adalah pengubah permainan.”
Perang udara di Kosovo juga menjadi momen penting bagi pesawat tak berawak. RQ-1A Predator dapat bertahan di udara selama 24 jam, mengintip dari atas awan menggunakan radar synthetic-aperture dan memantau bahkan sinyal berdaya rendah dari radio genggam dan telepon seluler Serbia. Tetapi daya tarik nyata terbukti bahwa penggunaan video real time-nya yang didapat tanpa mempertaruhkan nyawa pilot dalam proses tersebut.
“Itu adalah salah satu pertama kalinya bahwa ada MTS (multispectral targeting) ball milik Predator [kamera bulat], digunakan dalam operasi pertempuran yang senenarnya,” kata Letnan Kolonel Abizer “Beezer” Tyabji, Wakil Direktur Divisi ISR USAF. “Itu jelas sangat besar pengaruhnya jika Anda memiliki video secara real time.”

Hari ini, para kru menerbangkan pesawat tanpa awak ke seluruh dunia dari pusat komando di Amerika, tetapi saat itu misi Kosovo diterbangkan oleh kru di Taszar, Hongaria. Dari sana mereka mengumpulkan intelijen tentang kekejaman dan gerakan pasukan Serbia serta memberikan informasi penargetan.
RAND dalam analisnya mengatakan metode baru ini lahir dari kebutuhan perang. Menurutnya sebuah prosedur baru yang didemonstrasikan secara operasional untuk pertama kalinya di Kosovo mensyaratkan perpaduan yang cerdas dari sensor UAV dan prosedur komando dan kontrol khusus, di mana dua Predator yang mengorbit pada ketinggian 5.000 kaki akan menyediakan identifikasi target bergerak secara elektro-optik dan inframerah.
Sementara Predator ketiga akan menggunakan penunjuk laser dan perangkat lunak pemetaan untuk menyediakan geolokasi, setelah itu A-10 atau F-16 dipanggil mendekat ke target yang terdeteksi. Beberapa serangan terhadap beberapa tank dimungkinkan dengan menggunakan teknik ini.
Misi tempur Predator — yang tidak bersenjata — merintis jalan bagi program-program lanjutan. Pembentukan pusat operasi UAV di dalam Amerika, kontrol yang lebih baik, dan pendanaan drone yang lebih besar.
Padahal saat Perang Kosovo, kekuatan drone sangat sedikit termasuk krunya. “Itu [awak drone] adalah komunitas kecil, super kecil saat itu di Kosovo. Dan komunitas ini tumbuh secara eksponensial sejak saat itu. ”
Perang udara di Kosovo sangat memengaruhi Pentagon. Pelajaran dari Kosovo telah mempengarhi perang berikutnya di Afghanistan dan Irak. Tetapi perang berlarut-larut dan memakan banyak korban tentara Amerika membuat strategi ini pun harus kembali dipertanyakan.
Baca juga: