Di Pulau Runit, ada kubah beton besar yang menampung limbah nuklir dan puing-puing dari serangkaian tes nuklir atmosfer yang dilakukan Amerika di lokasi ini selama Perang Dingin.
Kini, para pencinta lingkungan khawatir bahwa kubah, yang sudah menunjukkan tanda-tanda retak tersebut, dapat menumpahkan konten berbahaya saat terjadi badai atau berada di bawah ancaman naiknya permukaan laut.
Menurut CBS News, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan kepada siswa di Fiji pekan lalu bahwa presiden Kepulauan Marshall “sangat khawatir karena ada risiko bocornya bahan radioaktif yang terkandung dalam semacam peti mati di daerah itu”
Sebagaimana dilaporkan Popular Mechanics Selasa 21 Mei 2019, Pemerintah Amerika melakukan 67 uji coba nuklir di Kepulauan Marshall selama Perang Dingin. Pulau-pulau itu dihantam oleh senjata nuklir dan termonuklir kemudian, termasuk tes Castle Bravo yang terkenal.
Bom H 10 ton meledak dengan hasil ledakan 15 megaton, lebih dari dua kali lipat hasil yang diperkirakan. Hasilnya setara dengan 15.000 kiloton TNT. Sebagai perbandingan, hasil bom Hiroshima hanya 15 kiloton.
Tes seperti Castle Bravo menyebabkan kontaminasi radioaktif yang luas terhadap pasir, tanah, dan benda-benda buatan yang tersebar di sekitar lokasi uji. Menurut The Washington Post banyak dari ini terakumulasi dan dibuang di sisa kawah selebar 328 kaki dari ledakan nuklir sebelumnya.
Kubah di Kawah Cactus, menurut Arsip Nasional Amerika, menampung 110.000 meter kubik tanah yang terkontaminasi radioaktif dan 6.000 meter kubik puing yang terkontaminasi. Pada 1980 sebuah kubah beton setebal 18 inci dibangun di atas kawah, menyegel kandungan radioaktif di dalamnya.
Kubah Cactus Crater sangat besar, Anda bisa melihatnya dari luar angkasa, tetapi kubah itu tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi permanen. Ketika permukaan laut naik karena pemanasan global, Samudra Pasifik semakin dekat ke kubah. Lebih buruk lagi, kubah juga menunjukkan tanda-tanda retak.

Tidak jelas bagaimana masalah besar ini akan diperbaiki. Kubah sekarang berada di bawah yurisdiksi pemerintah Kepulauan Marshall, dan perjanjian tahun 1979 antara kedua pemerintah menyatakan bahwa Amerika tidak bertanggung jawab atas masalah yang mungkin timbul dari percobaan nuklir masa lalu. Namun, Kepulauan Marshall adalah negara kecil dan miskin dan tidak memiliki sumber daya untuk memindahkan konten kubah ke rumah baru yang permanen. Ibarat kotak Pandora, kubah ini siap menebarkan berbagai mimpi buruk.
Meskipun Amerika tidak diwajibkan secara hukum untuk memberikan bantuan, jika kubah pecah Amerika akan disalahkan atas apa yang bisa menjadi bencana ekologis.
Baca juga:
Salah Arah, Uji Rudal Nuklir Trident Inggris Mengarah ke Daratan Amerika