Kondisi pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan tinggal di Bangladesh kondisinya semakin memprihatinkan. Presiden Filipina Rodrigo Duterte pun kembali menawarkan untuk memberikan kewarganegaraan Filipina kepada para pengungsi Rohingya. Duterte meyakinkan pihaknya beritikad baik menerima para pengungsi itu di negaranya.
“Saya ingin menerima para penduduk etnis Rohingya,” kata Duterte dalam sebuah pidato di Hotel Manila, Selasa 26 Februari 2019 sebagaimana dilaporkan The Daily Star.
Duterte pernah menyampaikan hal yang sama pada April 2018. Ketika itu, Duterte mengutarakan niatnya untuk memberikan suaka perlindungan kepada para pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, yang sekarang berlindung di wilayah perbatasan Bangladesh akibat genosida. Namun niat baik itu, ditanggapi negatif oleh seorang juru bicara pemerintah Myanmar dengan mengatakan Presiden Duterte tidak bisa mengendalikan diri dan tidak tahu apa-apa tentang Myanmar.
Atas teguran tersebut Presiden Duterte pun minta maaf dengan menerbitkan sebuah surat permohonan maaf secara terbuka kepada Pemimpin de Facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Duterte pun menyerang negara-negara Eropa yang telah menuding Myanmar melanggar HAM, tetapi tidak banyak berbuat apa-apa untuk menolong pengungsi Myanmar.
Mantan juru bicara kepresidenan Filipina Harry Roque pada tahun lalu mengatakan pemerintah Filipina memiliki sejumlah fasilitas untuk bisa mengakomodir para pengungsi. Fasilitas itu berada di wilayah tengah Bataan, Filipina. Pemerintah Filipina memiliki sebuah kebijakan membuka pintu bagi para pengungsi.
Sementara itu utusan PBB mengatakan muslim Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke Kabupaten Cox’s Bazar di Bangladesh hidup dalam “kondisi yang sangat menantang” dengan nyaris tanpa harapan.
Christine Schraner Burgener, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar, memberi penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB mengenai kunjungannya baru-baru ini ke Myanmar, Bangladesh dan tujuan lain di wilayah tersebut.
Menurut satu pernyataan yang dikeluarkan oleh PBB mengenai penjelasannya, Burgener mengatakan 18 bulan telah berlalu sejak kerusuhan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya dan orang lain meninggalkan rumah mereka, termasuk ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.
“Meskipun Bangladesh dan masyarakat penerima sangat baik hati, kami tak bisa mengharapkan ini akan berlangsung selamanya,” kata wanita itu Kamis 28 Februari 2019.
Ia mengatakan Rencana Tanggap Bersama PBB bagi 2019, yang diluncurkan belum lama ini, yang bertujuan mendukung para pengungsi dan masyarakat penampung, memerlukan dana “mendesak”.
Burgener mengatakan sejumlah langkah prioritas juga perlu dilakukan, termasuk diakhirinya kerusuhan di Myanmar, difasilitasinya akses tanpa hambatan ke orang yang terpengaruh, ditanganinya sumber ketegangan dan dimungkinkannya pembangunan yang melibatkan banyak kalangan dan berkesinambungan.
Ia menyampaikan keprihatinan bahwa perang sengit dengan Tentara Arakan akan makin mempengaruhi upaya ke arah pemulangan sukarela dan bermartabat para pengungsi, dan juga menyeru kedua pihak agar menjamin perlindungan warga sipil dan melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi kekhawatiran yang bertambah besar mengenai serangan sejak puluhan orang tewas dalam bentrokan antar-masyarakat pada 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke dalam wilayah Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penindasan terhadap masyarakat minoritas Muslim pada Agustus 2017.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah tewas oleh pasukan Pemerintah Myanmar, demikian satu laporan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam kobaran api, sementara lebih dari 114.000 orang lagi dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”.
Sebanyak 18.000 anak perempuan dan perempuan Rohingya diperkosa oleh polisi dan tentara Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah orang Rohingya dibakar dan 113.000 lagi dirusak, tambah laporan itu.
PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan –termasuk bayi dan anak kecil– pemukulan secara brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar.
Di dalam satu laporan, para penyelidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu mungkin telah menjadi kejahatan terhadap umat manusia.