Pada 11 Juli 2014, batalion Brigade Mekanis 24 dan 72 Ukraina berkumpul di luar kota Zelenopillya, yang terletak sekitar 5 mil dari perbatasan Rusia.
Setelah berhasil memukul mundur pasukan separatis yang didukung Rusia di Donetsk dan Luhansk (Donbass) yang memisahkan diri dua bulan sebelumnya, mereka berkumpul sebelum menjalankan rencana memberi serangan terakhir ke perbatasan untuk memotong jalur pasokan dari pasukan paramiliter dari dukungan Rusia.
Tetapi kondisi segera berubah drastis. Pesawat udara tak berawak Rusia terlihat berdengung di atas mereka dan sistem komando, kontrol dan komunikasi Ukraina mengalami gangguan karena serangan cyber.
Tidak lama kemudian Rusia meluncurkan serangan dengan menggunakan sistem multiple launch rocket jarak pendek BM-21 Grad dari seluruh perbatasan.
Serangan itu hanya berlangsung dua atau tiga menit, tetapi sangat merusak pasukan Ukraina. Serangan itu menghancurkan sebagian besar kendaraan lapis baja, menewaskan sedikitnya 30 tentara dan melukai ratusan lainnya. Dan efek paling parah adalah hancurnya moral pasukan Ukraina.
Kembalinya Sang Raja
Banyak pihak lebih mengkhawatirkan ancaman yang ditimbulkan oleh perang elektronik dan kemampuan siber Rusia. Namun serangan artileri terbukti tetap tidak bisa diremehkan. Dia tetaplah senjata yang memproduksi kematian paling banyak. Meski artileri bukanlah penyebab utama korban selama Perang Teluk Pertama atau perang di Afghanistan dan Irak, senjata ini telah menyebabkan sekitar 80 persen dari korban di Donbass pada tahun 2014 yang menandakan kembalinya “Raja Pertempuran.”
Investasi Rusia dalam artileri telah memberi mereka keunggulan taktis atas Amerika Serikat terutama dalam daya tembak / jangkauan dan kecepatan.
Daya Tembak/Jangkauan
Meski Angkatan Darat Amerika tetap memiliki artileri 155 mm dengan jangkauan maksimum lebih 22 kilometer, Rusia telah mulai mengaktifkan kembali pasukan artileri beratnya, dimulai dengan Pion 2S7, yang memiliki putaran 203 mm dan jangkauan yang cukup mengesankan yakni 37,5 km.
Tentara Rusia juga sedang mengaktifkan kembali mortir berat 2S4 Tyulpan, dengan proyektil 240 mm yang sangat menghancurkan dan mampu mencapai target 9.650 meter atau hingga 20 km dengan amunisi khusus), membuat mortir 120 mm Amerika menjadi sangat kerdil jika dibandingkan.
Meski beberapa pengkritik mungkin menyebut laju tembakan yang relatif lebih lambat untuk artileri berat dan mortir, kekuatan besar amunisi yang disatukan dengan banyak sistem, dapat memberikan efek destruktif dari dukungan udara jarak dekat, seperti yang ditunjukkan dengan hasil yang menghancurkan terhadap Bandara International Luhansk Ukraina pada tahun 2014. Selain kekuatan sistem ini, pasukan Rusia pasti akan menggunakan serangan jarak jauh mereka untuk mendatangkan malapetaka pada pasukan Amerika yang artilerinya ketinggalan zaman.
Kecepatan
Amerika mempertahankan artileri di tingkat brigade untuk kontrol terpusat, sedangkan Rusia menerjunkan artilerinya langsung ke manuver batalyon, memberikan respons maksimum ketika jendela peluang pendek muncul di medan perang multidomain yang dinamis. Selain itu, Rusia telah menguasai mengintegrasikan jaringan UAV dan pengamatan canggih.
Rusia juga telah menggunakan radar counterbattery dengan efek mematikan yang bisa membangun misi tembakan cepat, memberikan artileri Ukraina waktu yang minimal untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan.
Responsif tak tertandingi ini memungkinkan pasukan Rusia untuk dengan cepat menghancurkan pasukan lawan.
Tentara Amerika harus siap untuk kembalinya Raja Pertempuran dan untuk melawan ancaman ini. Seperti biasa, akuisisi dan teknologi memiliki peran, tetapi begitu pula taktik, pelatihan, kultur atau budaya, dan doktrin.
Diambil dari tulisan Kolonel Liam Collins, Direktur Modern War Institute at West Point dan Kapten Harrison “Brandon” Morgan, Kapten 2nd Armored Brigade Combat Team US Army di Association of the United States Army