MiG Indonesia Berakhir di Tangan Amerika

MiG Indonesia Berakhir di Tangan Amerika

Pada masa lalu Angkatan Udara Indonesia menjadi salah satu operator jet tempur MiG buatan Uni Soviet. Tetapi banyak pesawat tersebut tidak tersisa bahkan bangkainya pun tidak ada.

Jika ditelusuri, maka pesawat-pesawat itu telah diambil Amerika sebagai bagian dari upaya negara tersebut mengeksploitasi kemampuan tempur Uni Soviet. Indonesia menjadi negara pertama yang memberi kontribusi pada program tersebut.

Kisah berawal dari  Perang Vietnam, saat pesawat tempur Amerika mendapat musuh utama yakni jet lincah Soviet seperti MiG-17 dan MiG-21. Amerika dipaksa untuk melawan mereka menggunakan F-4 Phantom yang dikenal tidak lincah, bahkan pada awalnya tidak punya meriam karena terlalu percaya diri bisa membunuh MiG dengan rudal. Keyakinan yang salah total.

Situasi ini memaksa Amerika harus menemukan cara untuk mengekspos kelemahan dari MiG dan menggunakannya untuk melawan mereka.

MiG cukup sukses di pasar internasional dan Amerika tahu bahwa musuh mereka berikutnya pasti akan memiliki MiG dalam layanan.

Pertempuran udara terlalu pendek untuk bisa digunakan menganalisa jet dengan tepat. Amerika berjuang untuk bisa memiliki jet tempur Soviet untuk dieksploitasi karakternya.

 

MiG dengan lambang Israel diuji coba dengan Gary Shapira berdiri di sampingnya.
MiG dengan lambang Israel diuji coba dengan Gary Shapira berdiri di sampingnya.

Harapan muncul ketika seorang pilot Irak membelot ke Israel dengan membawa jet tempur MiG-21F-13.  Jet ini kemudian oleh Israel dipinjamkan ke Amerika tahun Januari 1968 dan diuji di daerah misterius di Groom Lake AS.

Jet tempur diuji di bawah program Have Doughnut dan laporan rinci dari kemampuan dan kinerja segera dibuat. Sementara Have Ferry dan Have Drill juga dimulai. Ini adalah dua program untuk menguji MiG-17F eks Suriah. Kemudian muncul ambisi besar dari e 4477th Test and Evaluation Squadron (4477 TES) untuk membangun sebuah skuadron MiG milik USAF.

Pesawat ini juga digunakan untuk melatih beberapa pilot Amerika sebelum dikembalikan ke Israel.

havedoughnutcolor1
 MiG-21F-13 Irak yang membelot ke Israel dan dipinjam Angkatan Udara Amerika

 

Angkatan udara Amerika memperoleh data berharga dengan memanfaatkan jet tersebut. USAF akhirnya ingin membentuk skuadron khusus MiG yang akan digunakan untuk melatih pilot Amerika secara rutin.

Hal ini menandai awal dari program Constant Peg di bawah the 4477th TES  yang didasarkan di area ltih Tonopah dekat Nellis. Program ini dimulai dengan Have Doughnut, Have Ferry dan Have Drill MiG dan diperluas di kemudian hari.

Ekspansi dilakukan pertama menggunakan MiG dari Indonesia dan kemudian dari Mesir. Amerika juga mendapat MiG-23 dan dieksploitasi di bawah program Have Pad dan Have Boxer. Mereka kemudian diserahkan ke 4477 untuk dieksploitasi.

Namun tidak ada penjelasan berapa MiG yang diambil dari Indonesia termasuk kompensasi yang diterima.

Indonesia memang pernah diperkuat armada.  Ketika Presiden Soekarno menyatakan perang terbuka dengan Belanda awal tahun 1960, semua unsur kekuatan disiagakan. AURI (kini TNI AU) saat itu sudah memiliki 49 MiG-17 Fresco dengan setengah kekuatan ditempatkan di Morotai, Amahai, dan Letfuan.

Ada juga P-51 Mustang, Il-28 Beagle, B-25 Mitchell, B-26 Invader, C-47 Dakota serta C-130 Hercules. Belanda masih garang sampai detik ini.

Hingga suatu hari, sebuah pesawat intai U-2 Dragon Lady Amerika melayang di atas Madiun. Selama konfrontasi, sering pesawat ini sengaja diterbangkan dari Darwin ke Filipina untuk misi-misi intelijen. Dari ketinggian 70.000 kaki, teridentifikasi oleh pilot beserta kru deretan jet tempur dan pembom.

Ditiliknya dengan cermat. Tak salah lagi, sang pilot yakin bahwa pesawat yang dilihatnya adalah pembom Tu-16 Badger dan MiG-21F Fishbed C, jet tempur pencegat paling ditakuti barat kala itu. Sebelumnya, intelijen Amerika memang sudah mengendus kedatangan MiG-21 di Indonesia.

Hasil pengintaian ini bergegas disampaikan Amerika kepada Belanda dan mengingatkan bahwa kekuatan Indonesia tidak bisa diremehkan.

Setelah pemberontakan PKI, nasib MiG Indonesia mengenaskan hingga kemudian dijual termasuk ke Pakistan termasuk MiG-19 yang terpaksa dibeli Indonesia karena menjadi syarat Soviet bahwa mereka mau melepas MiG-21 jika MiG-19 juga dibeli. Bisa jadi masa-masa inilah MiG Indonesia berpindah ke Amerika

Amerika Flogger.
Amerika Flogger.

Pada 1980-an, MiG awal mendekati akhir masa kerja mereka dan Amerika mendapatkan 12 F-7 dari China dengan cara yang juga rahasia seperti mendapatkan MiG lainnya. jet ini memungkinkan skuadron untuk memperluas dan melakukan sejumlah latihan serangan mendadak setiap hari.

zx1
F-7 yang berengsel di bagian belakang tidak seperti MiG-21 yang berengsel di depan. Pada gambar di atas Anda dapat dengan mudah membedakan antara F-7 dan MiG-21 dengan melihat kanopi mereka.

Pilot Amerika yang terlibat dalam program-program ini disumpah untuk menjaga rahasia terkait jet tersebut. Beberapa pilot dipilih dari sejumlah skuadron dan diminta untuk terbang menuju daerah yang ditunjuk di mana mereka akan terbang dengan MiG.

Beberapa MiG dikerahkan untuk menyergap formasi jet tempur USAF untuk mensimulasikan pertempuran. Semua ini memberikan pengalaman berharga untuk pilot yang akan diteruskan ke skuadron dari waktu ke waktu. Hal ini meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dalam pertempuran.

MiG-17 sudah pensiun pada tahun 80-an karena sudah begitu usang dan butuh biaya mahal untuk perawatan. MiG-23 menderita masalah kehandalan serta mempengaruhi penerbangan dan menyebabkan kecelakaan pesawat.

Namun jet ini sangat baik di beberapa domain yang lain. MiG-17 sangat baik dalam pertempuran kecepatan rendah sedangkan Flogger memiliki percepatan yang luar biasa. MiG-21 di sisi lain terbukti menjadi yang terbaik. Pesawat itu bisa berubah keras dan memiliki banyak energi.

Program ini resmi berakhir pada bulan Juli 1990 karena akhir Perang Dingin dan pemotongan anggaran besar-besaran. Beberapa jet tersisa dilestarikan untuk disimapn di museum. Sebagian besar rincian dari program tersebut telah diklasifikasikan bersama dengan foto-foto yang diposting di atas.

Untuk informasi lebih lanjut tentang program ini Anda harus membaca buku “Red Eagles” yang ditulis Steve Daives.