Site icon

Habiskan Rp83.000 Triliun untuk Perang, Amerika Makin Tak Aman

Pasukan Amerika di Afghanistan/ Pfc. Cameron Boyd

Biaya perang melawan teror atau War on Terror yang diperikirakan oleh Cost of War Project Universitas Ivy League akan mencapai US$ 5,9 triliun atau lebih dari Rp83.000 (dengan kurs Rp14.000) antara 2001-2019.

Uang itu mencakup lebih dari US$ 2 triliun untuk operasi kontinjensi di luar negeri, US$ 924 miliar untuk pengeluaran keamanan dalam negeri, dan US$ 353 miliar untuk perawatan medis dan kecacatan akibat perang. Dana juga termasuk bunga yang harus dibayar karena biaya perang diambil dari pinjaman.

Daniel DePetris peneliti di Defense Priorities, organisasi kebijakan luar negeri non-partisan yang berfokus pada peningkatan keamanan, stabilitas dan perdamaian dalam tulisannya di National Interest Sabtu 12 Januari 2019 menyebutkan perang melawan terorisme telah membawa Amerika Serikat yang beroperasi di 40 persen dari negara-negara dunia dan memimpin 65 program pelatihan keamanan dari hutan-hutan di Columbia hingga hutan-hutan di Thailand.

Washington mengerahkan pasukan, pelatih, dan penasihat ke banyak tempat yang bahkan di tempat-tempat yang dirahasiakan. Ketika empat pasukan pasukan khusus Amerika disergap dan dibunuh oleh sekelompok kecil pejuang di dekat perbatasan Niger-Mali, anggota parlemen di Washington terkejut karena ada tentara Amerika di negara tersebut.

Dengan dana begitu besar yang sudah dikeluarkan,  Amerika seharusnya mencapai tingkat keamanan yang layak. “Namun yang terjadi justru sebaliknya,” tulis DePetris.

Mengutip survei Oktober 2017 yang dilakukan Charles Koch Institute dia mengemukakan bahwa sebagian besar warga Amerika (43 persen) dan veteran (41 persen) percaya kebijakan luar negeri Amerika selama 20 tahun terakhir benar-benar membuat negara itu kurang aman.

Dia menambahkan adadata yang mendukung kekhawatiran orang Amerika tersebut. Melihat secara komprehensif masalah terorisme selama beberapa dekade, Center for Strategic and International Studies’ Transnational Threats Project  menemukan bahwa jumlah pejuang garis keras justru telah meningkat sebesar 270 persen sejak tahun 2001.

Pada tahun 2018, ada 67 kelompok garis keras yang disebut Amerika sebagai teroris beroperasi di seluruh dunia. Jumlah ini meningkat 180 persen sejak 2001. Jumlah pejuang bisa mencapai 280.000, tertinggi dalam empat puluh tahun.

Banyak dari para pejuang yang tinggal di negara-negara yang diinvasi atau dibom Amerika dalam 17 tahun terakhir seperti Irak, Afghanistan, dan Libya.

Semua ini menimbulkan pertanyaan: apakah strategi kontraterorisme Washington memiliki efek yang diinginkan untuk meningkatkan keamanan orang Amerika? Atau apakah strateginya hanya menciptakan lebih banyak teroris daripada membunuh, membuang lebih banyak uang ke toilet, dan lebih jauh menekan sumber daya militer Amerika?

“Kami tidak akan tahu jawabannya sampai Presiden Donald Trump memerintahkan pemerintahannya untuk melakukan penilaian seluruh pemerintah yang jujur, tidak memihak terhadap kebijakan saat ini. Ketika dia melakukannya, mungkin Trump akan lebih cenderung untuk menolak penasihat keamanan nasional konvensionalnya yang terus berdebat untuk komitmen militer Amerika tanpa syarat dan abadi di Suriah dan Afghanistan,” kata DePetris

Exit mobile version