Jerman Mempertaruhkan Nasib Penjualan 48 Typhoon ke Arab Saudi Senilai Rp197 Triliun
Eurofighter Typhoon Arab Saudi

Jerman Mempertaruhkan Nasib Penjualan 48 Typhoon ke Arab Saudi Senilai Rp197 Triliun

Kanselir Jerman Angela Merkel telah menyatakan bahwa ekspor senjata lebih lanjut ke Arab Saudi tidak mungkin dilakukan di tengah ketidakpastian yang berlanjut seputar pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi. Berlin juga mendesak negara-negara Eropa lainnya untuk mengikutinya dan menghentikan ekspor senjata mereka ke kerajaan tersebut.

Berlin sedang dalam proses meninjau penjualan senjatanya ke Arab Saudi, yang mencakup lebih dari selusin kapal patroli cepat yang dibangun oleh Luerssen Defense, serta sistem radar anti-artileri COBRA yang dibangun oleh konsorsium termasuk Airbus Defense & Space, Thales, dan Lockheed. Martin.

Namun muncul kekhawatiran di antara sekutu Jerman adalah bahwa sikap Berlin ini akan mengganggu pembelian senjata yang lebih substantif yang bergantung pada komponen Jerman.

Berbicara kepada Reuters, sumber-sumber industri mengatakan bahwa Saudi memiliki pesanan 48 jet tempur Eurofighter Typhoon senilai US$12,99 miliar atau sekitar Rp197 triliun (dengan kurs Rp15.200) juga akan terganggu. Pesawat ini dibangun konsorsium termasuk BAE Systems Inggris, Airbus Perancis-Jerman-Spanyol, dan Leonardo Italia  dan sekitar sepertiga dari komponen pesawat tempur ini merupakan buatan Jerman.

BAE menolak berkomentar mengenai masalah ini, begitu pula pejabat dari konsorsium Eurofighter yang berbasis di Jerman. Kantor Luar Negeri Inggris tidak segera berkomentar saat dimintai tanggapan oleh Reuters.

Pembelian Eurofighter Typhoon ini akan mengamankan ribuan lapangan pekerjaan di BAE, dan membantu memperluas produksi pesawat tempur Eropa sampai jet tempur generasi berikutnya yang akan dirancang di tahun-tahun mendatang masuk ke produksi.

Arab Saudi juga merupakan salah satu dari sedikit pasar ekspor yang tersisa untuk Eurofighter Typhoon, mengingat banyak kekalahan mereka dalam berbagai kompetisi terutama melawan F-35, termasuk keputusan yang diharapkan segera diambil Belgia.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah tiga kapal patroli yang saat ini sedang dibangun di galangan kapal Luerrsen di Wolgast, di negara bagian timur laut Jerman Mecklenburg-Vorpommern yang kekurangan uang.  Majalah Stern melaporkan galangan ini mempekerjakan 300 orang, lapor. Dari 33 kapal yang dipesan secara total, 16 masih harus disetujui.

Luerssen menolak mengomentari pemesanan Saudi, tetapi mengatakan akan menghormati keputusan politik tentang nasib kapal namun tetap mengakui pesananan ini sangat penting bagi kehidupan galangan tersebut.

Jika Berlin berhenti mengerjakan pesanan kapal patroli Saudi, mereka mungkin harus memberi kompensasi kepada galangan yang jumlahnya tidak sedikit.

Tim Stuchtey Direktur Keamanan Brandenburg Institute for Society and Security (BIGS) mengatakan Jerman menghadapi dilema yang sulit – apakah akan mengikuti naluri moral atau mengejar agenda politik riil  dari kepentingan ekonomi.

Stuchtey  mengatakan perbedaan antara Berlin dan eksportir senjata Eropa lainnya  mengenai penjualan ke Riyadh adalah indikasi masalah yang terkait dengan kurangnya sistem aturan Eropa mengenai masalah ini.

“Selama kita tidak memiliki aturan Eropa yang seragam untuk ekspor senjata, kita akan selalu memiliki masalah ini. Akan sulit untuk menyesuaikan sikap Prancis dan Inggris tentang ekspor senjata dengan imperatif moral Jerman,” katanya.

Pada Senin 22 Oktober 2018, Menteri Urusan Ekonomi Jerman Peter Altmaier mendesak mitra Uni Eropa Berlin untuk mengikuti jejak Berlin ddengan menghentikan penjualan senjata ke Arab Saudi sampai pertanyaan tentang kematian Khashoggi terjawab.

“Bagi saya, penting bagi kita untuk mencapai sikap bersama Eropa. Karena jika semua negara Eropa setuju, itu akan memberi kesan pada pemerintah di Riyadh. Tidak akan memiliki konsekuensi positif jika kita menghentikan ekspor senjata tetapi negara-negara lain pada saat yang sama mengisi kekosongan, “kata Altmaier.