Prancis akan mengirim kapal induknya ke Samudera Hindia tahun depan, untuk melakukan misi kebebasan navigasi. Langkah yang hampir pasti akan memunculkan reaksi negatif dari China.
Kapal Induk Charles de Gaulle, saat ini di pelabuhan Prancis selatan Toulon dan sedang menjalani renovasi. Kapal ini direncanakan akan berlayar ke Samudera Hindia awal tahun depan.
“Prancis selalu berdiri di garis depan dalam membela hak kebebasan navigasi di perairan internasional,” kata Menteri Pertahanan Florence Parly kepada koran La Provence Jumat 19 Oktober 2018.
“Setiap kali ada pelanggaran prinsip dasar hukum internasional, seperti yang saat ini terjadi di China selatan, kami akan menunjukkan kebebasan kami untuk bertindak dan berlayar di perairan seperti itu,” tambahnya.
Pada bulan Mei, kapal amfibi Prancis Dixmude juga melaju di Laut Cina Selatan, sementara skuadron udara Perancis terbang di atas wilayah tersebut pada bulan Agustus.
Juga pada bulan Mei, Presiden Prancis Emmanuel Macron, berbicara dalam perjalanan ke Australia, mengatakan tidak ada negara yang diizinkan untuk mendominasi wilayah tersebut.
“Prancis, Australia dan India memiliki tanggung jawab untuk melindungi kawasan itu dari hegemoni terselubung terhadap kekuatan Beijing yang berkembang,” katanya. Prancis sendiri juga memiliki sejumlah wilayah pulau di Samudra Pasifik.
Charles de Gaulle merupakan kapal induk bertenaga nuklir dengan panjang sekitar 858 kaki dan berbobot 42.000 ton. Kapal ini dapat membawa maksimal 40 pesawat, seperti Dassault Rafale.
Sebelumnya dilaporkan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis meminta sekutu-sekutunya untuk melawan upaya China untuk mendominasi Laut China Selatan.
“Saya pikir bahwa kita semua bergandengan tangan bersama, sekutu dan mitra ASEAN, dan kami menegaskan seperti yang kami lakukan agar tidak ada satu negara pun yang dapat menulis ulang aturan internasional dan mengharapkan semua negara besar dan kecil untuk menghormati aturan-aturan itu,” kata Mattis selama pertemuan trilateral dengan delegasi Jepang dan Korea Selatan di Singapura Jumat 19 Oktober 2018.
“Amerika Serikat, bersama sekutu dan mitra kami, akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan dan kepentingan nasional kami menuntut. Kami tidak akan terintimidasi dan kami tidak akan mundur, karena kami tidak dapat menerima militerisasi RRC di Laut China Selatan atau paksaan apa pun di wilayah ini, ” tambahnya sebagaimana dilaporkan The Hill.
Amerika secara rutin telah unjuk kekuatan di Laut China Selatan untuk menantang China. Selain mengirimkan kekuatan kapal induk, Pentagon secara berkala juga menerbangkan bomber jarak jauh mereka di kawasan tersebut.
Terakhir sepasang pembom B-52H Stratofortress terbang melalui Laut China Selatan pada Selasa 16 Oktober 2018 untuk mendukung misi Kehadiran Pembom Berkelanjutan Indo-Pasifik, yang terutama dimaksudkan untuk mengirim pesan pencegahan kepada musuh potensial.