Arab Saudi telah lama menjadi wilayah subur bagi kontraktor pertahanan Amerika Serikat, sebuah kerajaan kaya minyak dengan nafsu untuk senjata.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Pentagon, sejak tahun 1950, negara ini telah menghabiskan hampir US$ 90 miliar atau sekitar Rp1.366 triliun (dengan kurs Rp16.100) untuk membeli senjata dari kontraktor pertahanan Amerika.
Tahun lalu saja, Arab Saudi menghabiskan hampir US$ 5,5 miliar. Meski angka itu tidak ada apa-apanya dengan yang dihabiskan Pentagon membeli senjata, tetapi tetaplah angka yang sangat besar.
Tapi sekarang Arab Saudi sedang diselidiki, karena hilangnya Jamal Khashoggi, seorang warga Amerika asal Saudi yang menulis kolom opini untuk The Washington Post. Para pejabat Turki mengatakan mereka percaya dia terbunuh dan dimutliasi saat mengunjungi konsulat Saudi di Istanbul sekitar dua minggu lalu.
Reaksi internasional dengan cepat datang dan memberatkan, dengan semakin banyak eksekutif top Amerika memilih keluar dari konferensi investasi Saudi di Riyadh akhir bulan ini. Investor tech Steve Case dan Jamie Dimon, kepala eksekutif JPMorgan Chase, mengatakan mereka tidak lagi pergi.
Richard Branson, pendiri Virgin Group, mengatakan dia menangguhkan pekerjaannya sebagai direktur dua proyek pariwisata dan telah membatalkan diskusi tentang kemungkinan investasi US$ 1 miliar di perusahaan ruang angkasa.
Sebaliknya, perusahaan pertahanan Amerika diam seribu bahasa. Juru bicara dari Lockheed, Boeing, dan Raytheon tidak segera menanggapi permintaan untuk memberikan komentar tentang apakah eksekutif mereka akan menghadiri konferensi tersebut.
Dan Presiden Donald Trump secara terbuka mengatakan dia tidak ingin membahayakan kesepakatan penjualan senjata besar ke Arab Saudi yang katanya bernilai US$ 110 miliar, meskipun para ahli pertahanan telah membantah jumlah itu dan mengatakan sulit untuk menghitung secara tepat berapa banyak pekerjaan yang dipertaruhkan.
Berbicara di CBS “60 Minutes” Sunday, Trump mengatakan bahwa dia tidak “ingin melukai pekerjaan” di kontraktor seperti Boeing, Lockheed Martin dan Raytheon. “Aku tidak ingin kehilangan pesanan seperti itu,” katanya.
Loren Thompson, konsultan perusahaan pertahanan papan atas, mengatakan bahwa dia “akan berani bertaruh bahwa setiap kontraktor pertahanan utama yang dijadwalkan akan muncul di konferensi akan tetap pergi. Karena Pasar senjata Saudi terlalu besar untuk kontraktor pertahanan, dan kepemimpinan Saudi terlalu sensitif untuk mengambil risiko. ”
The Washington Post melaporkan Selasa 15 Oktober 2018, Lockheed Martin, perusahaan pertahanan terbesar di dunia, telah lama menganggap Arab Saudi sebagai pelanggan utama. Awal tahun ini, Marillyn Hewson, chief executive officer Lockheed, menjadi tuan rumah bagi putra Mahkota Arab Saudi Muhamad bin Salman dan memberinya tur ke fasilitas produksi pertahanan satelit dan rudalnya di Sunnyvale, Calif.
Mereka juga mendiskusikan sistem rudal THAAD, serta pembuatan dua satelit komunikasi yang dibangun Lockheed untuk negara tersebut.
Sejak 1965, Lockheed telah hadir di Arab Saudi, dengan pengiriman pesawat angkut militer C-130 Hercules pertamanya. Sejak itu telah menjual sistem pertahanan rudal, helikopter, satelit dan kapal ke kerajaan kaya raya itu.
“Arab Saudi adalah salah satu pasar luar negeri yang paling menguntungkan bagi para kontraktor pertahanan kami,” kata Todd Harrison, seorang analis pertahanan di Pusat Studi Strategis dan Internasional.
“Mereka cenderung membeli peralatan kelas atas. Mereka memiliki banyak uang untuk dilemparkan, dan mereka dapat membuat keputusan pembelian senjata dengan cukup cepat karena mereka tidak memiliki banyak birokrasi.”
Andrew Hunter, juga analis pertahanan CSIS, mengatakan bahwa banyak perusahaan pertahanan yang bergerak untuk mengembangkan bisnis internasional mereka selama dekade terakhir dalam upaya untuk mengimbangi penurunan pengeluaran Amerika.
“Arab Saudi adalah salah satu pemain terbesar di Timur Tengah dan merupakan salah satu dari dua pasar terbesar yang berkembang untuk penjualan militer asing,” katanya.
Lockheed yang berbasis di Bethesda mendapat US$ 51 miliar dalam penjualan tahun lalu, hampir 70 persen di antaranya, atau US$ 35,2 miliar, berasal dari penjualan ke pemerintah Amerika.
Tahun lalu, Lockheed mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan senilai US$28 miliar dengan Arab Saudi untuk menjualnya sistem pertahanan selama beberapa tahun mendatang. Boeing, sementara itu, menandatangani perjanjian untuk membantu membangun pesawat militer sayap-putar di Arab Saudi, yang katanya diperkirakan akan menghasilkan US$ 22 miliar dan membuka 6.000 lowongan pekerjaan pada tahun 2030.
Dan Raytheon baru-baru ini membuka perusahaan terpisah untuk bekerja secara langsung dengan pemerintah Saudi.
Namun seringkali kesepakatan itu tidak berjalan seperti yang direncanakan semula. Trump telah berulang kali mengatakan bahwa kesepakatan senjata dengan Arab Saudi bernilai US$ 110 miliar. Tetapi banyak dari kesepakatan itu adalah “nota kesepakatan,” dan belum tandatangan kontrak sebenarnya. Dan Trump tidak mau kehilangan kesempatan itu. Dia tetap ingin Boeing, Lockheed dan kawan-kawannya terus mengeruk uang Arab Saudi.