Oscar Temaru, mantan presiden French Polynesia (Polynesia) dan pemimpin Partai Tavini Huiraatira pada Selasa 9 Oktober 2018 mengatakan pihaknya menuntut Prancis di Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC) karena melakukan uji coba nuklir negara mereka.
Hal itu disampaikan Temaru saat berbicara dalam pertemuan tentang France Polynesia sebagai bagian dari komite PBB yang berfokus pada dekolonisasi.
“Ini dengan rasa tanggung jawab dan tekad yang besar bahwa kami mengajukan tuntutan di Pengadilan Kriminal Internasional pada 2 Oktober atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus ini bertujuan untuk membuat semua presiden Prancis yang masih hidup bertanggung jawab atas uji coba nuklir terhadap negara kami. Kami berhutang kepada semua orang yang meninggal akibat konsekuensi kolonialisme nuklir, ” kata Temaru di PBB sebagaimana dilaporkan France24.
Polynesia merupakan wilayah Prancis di luar negeri yang berpenduduk sekitar 290.000 orang dengan wilayah yang paling terkenal adalah pulau wisata Tahiti. Tapi atol Mururoa dan Fangataufa telah menjadi ajang 193 kali uji coba nuklir selama 1960 hingga 1996t sebelum kemudian presiden Jacques Chirac mengakhiri program tersebut.
Pada akhir September, sejumlah media Prancis melaporkan bahwa komisi pemerintah akan mengunjungi situs uji coba nuklir Polynesia dengan tujuan untuk mengubah undang-undang kompensasi.
Atol Mururoa dan Fangataufa di Polynesia digunakan untuk uji coba nuklir selama tiga dekade, dengan sekitar 150.000 personel militer dan sipil terlibat dalam proses tersebut serta ribuan dari mereka kemudian menderita masalah kesehatan yang serius.
Setelah bertahun-tahun menyangkal tanggung jawab, Prancis memperkenalkan undang-undang untuk memberi kompensasi kepada orang-orang yang menderita akibat paparan uji coba nuklir pada tahun 2010. Data menunjukkan menunjukkan bahwa hanya 20 dari 1.000 pelapor yang mendapat kompensasi.
Pada periode 1960-1996, Prancis melakukan 210 uji coba nuklir, dengan 17 di antaranya dilakukan di gurun Sahara di Aljazair dan 193 di Polinesia Prancis.