Kapal selam pertama Jepang yang didukung dengan baterai lithium-ion diluncurkan pada Kamis 4 Oktober 2018. Meski canggih, namun industri pertahanan Jepang dihadapkan dengan situasi sulit karena tekanan Amerika Serikat.
Kapal selam Oryu yang memiliki panjang 84 meter diturunkan ke air di galangan kapal Kobe Heavy Industries yang membangun kapal selam tersebut. Sebelum masuk ke air, kapal selam dibaptis dengan sebotol sake.
Sebagaimana dilaporkan Nikkei, kapal selam ini dapat mencapai kecepatan sekitar 20 knot dan berbobot 2.950 ton. Kapal rencananya akan dikirimkan ke Pasukan Maritim Bela Diri Jepang pada Maret 2020.
Oryu adalah kapal selam kesebelas yang didasarkan pada desain Soryu. Kapal kelas Soryu sendiri mulai dibangun pada tahun 2005 dan termasuk salah satu kapal selam diesel-listrik terbesar di dunia.
Tapi Oryu adalah versi yang sangat diperbarui dari Soryu, perubahan terbesar adalah penggantian baterai lead-acid dengan lithium-ion. Mitsubishi Heavy menunjuk GS Yuasa untuk memasok baterai berkinerja tinggi, dengan kemampuan menyimpan hingga dua kali lipat daya.
Baterai kapal selam diisi ulang oleh energi yang dihasilkan oleh mesin diesel Oryu. Kapal akan beralih ke baterai selama operasi dan pertempuran yang sebenarnya untuk membungkam mesin dan menjadi lebih sulit untuk dideteksi. Baterai lithium-ion secara radikal memperluas jangkauan dan waktu kapal selam di bawah air.
Namun di tengah-tengah kegembiraan dari peluncuran Oryu, eksekutif Mitsubishi Heavy harus menghadapi situasi muram. Washington telah menekan Tokyo untuk memperluas pengadaan peralatan militer Amerika sebagai sarana untuk memotong ketidakseimbangan perdagangan negara. Perkembangan seperti itu akan meninggalkan kontraktor pertahanan Jepang dengan lebih sedikit pesanan.
Presiden Amerika Donald Trump mendesak Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk membeli lebih banyak senjata Amerika selama pertemuan puncak bilateral pekan lalu.
“Penting bagi kami untuk terus memperkenalkan peralatan canggih, termasuk peralatan Amerika, sehingga kemampuan pertahanan Jepang dapat diperkuat,” kata Abe kepada Trump.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang telah meningkatkan pembelian peralatan miltier Amerika, seperti perisai rudal Aegis Ashore. Hingga tahun fiskal 2011, pembelian Tokyo melalui program Penjualan Militer Asing Washington kurang dari 100 miliar yen atau sekitar Rp 13 triliun per tahun. Sementara tahun fiskal ini mencapai 400 miliar yen atau sekitar Rp53 triliun.
Meski pembelian ini memungkinkan Jepang untuk mendapatkan perangkat keras militer Amerika yang memiliki kinerja tinggi, manfaat bagi industri pertahanan dalam negeri hanya sedikit. Sementara itu, ekspor peralatan militer Jepang telah terhenti.
Jepang gagal membujuk Australia memesan kapal selam kelas Soryu, yang dibangun oleh Mitsubishi Heavy dan Kawasaki Heavy Industries, dan memilih kapal buatan Prancis. Kawasaki Heavy juga belum berhasil mengekspor satupun pesawat patroli militer P-1 miliknya. Rencana untuk mengembangkan jet tempur sendiri untuk menggantikan F-2 juga masih menghadapi banyak rintangan.
Tetapi dalam hal kapal perang, Jepang memiliki teknologi khusus yang didukung oleh infrastruktur perkapalan yang kuat. Industri pembuatan kapal komersial Jepang mendapat saingan keras China dan Korea Selatan, dan industri pertahanan Jepang sedang diserang oleh impor militer Amerika.
Satu-satunya domain yang tersisa untuk industri berat Jepang adalah kapal selam. Oryu akan menjadi yang terakhir dari kelas Soryu. Untuk generasi berikutnya, teknologi canggih Oryu diperkirakan akan diubah menjadi kapal selam seberat 3.000 ton.