Meski Amerika sebelumnya disebut menjamin Indonesia tidak akan mendapat sanksi terkait pembelian jet tempur Su-35 dari Rusia, namun Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) kemungkinan akan mempengaruhi kerangka waktu pengiriman jet tempur tersebut.
Surat kabar Komersant Rusia mengutip sejumlah sumber industri mengatakan, situasi yang ada saat ini tidak menyenangkan, meski belum sampai pada tahapan krisis.
Komersant melaporkan Washington belum memberikan jaminannya kepada Jakarta bahwa Indonesia tidak akan menghadapi sanksi Amerika.
Menurut Komersant yang dikutip Sputnik Jumat 5 Oktober 2018, CAATSA juga menargetkan transaksi internasional Rusia. Sementara para pihak berencana untuk menggunakan pinjaman dari bank komersial Rusia sebagai bagian dari kontrak pembelian Su-35.
Namun, tidak ada bank yang bersedia terlibat dalam kesepakatan itu karena mereka mungkin akan menghadapi sanksi Amerika karena bekerjasama dengan eksportir militer Rusia Rosoboronexport.
“Situasinya tidak menyenangkan tetapi tidak kritis. Kami mempertahankan hubungan yang konstan dengan mitra Indonesia kami, kami mencari jalan keluar dari situasi ini,” kata salah satu sumber yang dikutip surat kabar tersebut.
Pihak berwenang Amerika telah mencari kemungkinan untuk memperkenalkan pembebasan sanksi untuk memungkinkan negara-negara tertentu, memiliki hubungan dengan Rusia, membeli peralatan militer Rusia.
Menteri Pertahanan Amerika James Mattis secara khusus meminta anggota kongres pada bulan Agustus untuk memberikan pengabaian ini dalam hubungannya dengan India, Indonesia dan Vietnam.
Pada Agustus, Duta Besar Indonesia untuk Rusia Mohamad Wahid Supriyadi mengatakan kepada Sputnik bahwa Jakarta diperkirakan akan menerima jet tempur Su-35 Flanker-E Rusia pertama di bawah kontrak bilateral pada bulan Oktober 2019.
Seperti diketahui Indonesia dan Rusia telah menekan kontrak pembelian 11 jet tempur Su-35 senilai US$1,14 miliar atau sekitar Rp16, 5 triliun (dengan kurs Rp14.400). Sebagian dari nilai kontrak yang ada akan dibayar dengan sistem imbal dagang di mana Rusia membeli sejumlah produk Indonesia.