Dianggap Tidak Biasa, Ilmuwan Amerika Terkejut dengan Tsunami Palu-Donggala

Dianggap Tidak Biasa, Ilmuwan Amerika Terkejut dengan Tsunami Palu-Donggala

Tsunami yang melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah setelah gempa 7,5 skala richter Jumat 28 September 2018 membuat terkejut kalangan ilmuwan di Amerika Serikat. Secara itung-itungan, harusnya gempa tidak akan memunculkan tsunami

Selain Palu, musibah itu juga melanda Donggala, salah satu kabupaten di Sulteng. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan korban tewas di dua wilayah itu sudah mencapai 832 orang.

The New York Times, Senin 1 Oktober 2018 tinggi gelombang tsunami di Palu mencapai 18 kaki atau 5,4 meter.

“Kami memperkirakan memang bisa menyebabkan tsunami, tidak tidak sebesar itu,” kata Jason Patton, seorang ahli geofisika yang bekerja di perusahaan konsultan Temblor, dan mengajar di Humboldt State University di California.

Selain menewaskan ratusan orang, gempa dan tsunami di Sulteng telah menghancurkan banyak bangunan, kendaraan dan berbagai infrastruktur.

Tsunami dahsyat pernah melanda Indonesia dan sekitarnya tahun 2004. Saat itu gelombang tsunami mencapai sekitar 100 kaki dan menewaskan hampir seperempat juta orang dari Indonesia hingga Afrika Selatan. Tsunami dahsyat ini dihasilkan dari gempa berkekuatan 9,1 SR di Sumatera.

Yang membuat para ilmuwan terkejut dengan kejadian di Sulteng adalah bahwa gempa yang terjadi berjenis strike-slip, di mana gerakan bumi sebagian besar horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak akan menciptakan tsunami.

Kendati demikian, menurut Patton, dalam kondisi tertentu hal itu bisa menciptakan tsunami dan benar-benar terjadi di Palu dan Donggala.

Kemungkinan lain, menurut ilmuwan tersebut, adalah bahwa tsunami di Sulteng diciptakan secara tidak langsung. Guncangan keras selama gempa mungkin telah menyebabkan longsor bawah laut dan menciptakan gelombang. Kejadian seperti itu tidak biasa dan beberapa di antaranya pernah terjadi pada gempa berkekuatan 9,64 SR di Alaska tahun 1964.

Patton mengatakan kombinasi faktor mungkin telah berkontribusi pada tsunami. Studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk memahami peristiwa tersebut. “Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai itu selesai,” katanya.

Tsunami juga dapat dipengaruhi oleh lokasi Palu di ujung teluk yang sempit. Garis pantai dan kontur dasar teluk bisa memfokuskan energi gelombang dan mengarahkannya ke teluk, sehingga meningkatkan tinggi gelombang saat mendekati pantai.

Hal semacam itu juga telah terlihat sebelumnya di Crescent City, California, yang dihantam oleh lebih dari 30 tsunami, termasuk satu di antaranya setelah gempa Alaska tahun 1964 di mana 11 orang tewas. Menurut Patton, kontur dasar laut, topografi dan lokasi kota ikut berpengaruh.

Gelombang tsunami yang begitu dekat dengan Palu, hanya memberikan sedikit waktu bagi para korban untuk menyelamatkan diri. Terlebih, sistem peringatan dini tsunami Indonesia telah dinyatakan tidak berfungsi sejak 2012.

Indonesia, pada saat ini hanya menggunakan seismograf, perangkat sistem penentuan posisi global dan alat pengukur pasang untuk mendeteksi tsunami. Menurut Louise Comfort, seorang profesor di studi pascasarjana University of Pittsburgh, perangkat seperti itu memiliki efektivitas yang terbatas.

Comfort telah terlibat dalam proyek untuk membawa sensor tsunami baru ke Indonesia. Di Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memiliki jaringan canggih 39 sensor di dasar laut yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil yang menunjukkan bagian dari tsunami. Data tersebut kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis, dan peringatan dikeluarkan jika diperlukan.

Comfort mengatakan bahwa Indonesia memiliki jaringan yang sama dengan 22 sensor, tetapi perangkat itu tidak lagi digunakan karena telah rusak. Proyek yang sedang dikerjakannya akan membawa sistem baru ke Indonesia yang akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan pelampung permukaan yang dapat dirusak atau ditabrak kapal.

Comfort mengatakan dia telah mendiskusikan proyek tersebut dengan tiga lembaga pemerintah Indonesia. Rencana untuk memasang prototipe sistem di Sumtera bagian barat ditunda bulan ini. “Mereka tidak dapat menemukan cara untuk bekerja sama,” katanya.

“Sangat memilukan ketika Anda tahu teknologi yang ada di sana,” imbuh dia. “Indonesia ada di Ring of Fire, tsunami akan terjadi lagi.”