Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengakui akan muncul masalah atau tantangan jika Turki yang merupakan anggota aliansi tersebut membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia.
Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Jens Stoltenberg di lembaga think tank konservatif Heritage Foundation di Washington, Amerika Serikat.
Namun, sepeti dilansir Hurriyet Sabtu 15 September 2018, Stoltenberg mengatakan pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena pembelian itu merupakan keputusan Turki sebagai
Pejabat asal Norwegia itu menjelaskan betapa pentingnya Turki sebagai anggota NATO maupun sebagai sekutu secara geografis. Dia memaparkan, Ankara berkontribusi besar ketika melawan kelompok ISIS, maupun menerima pengungsi Suriah.
“Mereka menerima jutaan pengungsi, dan mengimplementasikan perjanjian dengan Uni Eropa untuk mengatur arus migran di Laut Aegea,” ujar Stoltenberg.
Karena itu, dia mengaku memahami jika terdapat perselisihan antara Turki dan Amerika soal pembelian sistem pertahanan anti-serangan udara itu.
Apalagi, Kongres sempat mengesahkan undang-undang yang melarang Amerika menjual jet tempur F-35 ke Turki jika mereka ngotot membeli S-400.
“Pastinya ada tantangan ketika mengombinasikan S-400 dengan F-35. Saya menyambut adanya dialog untuk menyelesaikan isu tersebut,” katanya.
Mantan Perdana Menteri Norwegia 2000-2001 dan 2005-2013 itu meminta agar peran Ankara tidak dikesampingkan sebagai bagian dari NATO.
Seperti diketahui Turki telah menyepakati pembelian sistem rudal tersebut dengan membayar uang muka US$2,5 miliar atau sekitar Rp36,5 triliun. Rosoboronexport sebagai produsen senjata yang oleh NATO disebut sebagai Sa-21 Growler itu menyatakan akan mengirimkannya ke Ankara pada2019.
S-400 adalah sistem rudal yang bisa merontokkan pesawat tempur lawan dari jarak 400 kilometer dan rudal balistik dari jarak 60 kilometer. Sistem tersebut terdiri dari radar multifungsi, sistem pendeteksi mandiri, rudal anti-serangan udara, tabung peluncur, dan kendaraan komando.
S-400 mampu menembakkan empat jenis rudal, tergantung target yang dihadapi, untuk memberikan pertahanan berlapis.
Sebuah unit S-400 dapat mendeteksi target dari jarak 600 kilometer, dan mampu menghancurkan 36 sasaran secara simultan. Sistem pertahanan ini diklaim dua kali lebih efektif dari pendahulunya, S-300, dan bisa disiagakan hanya dalam waktu 5 menit.
Dikembangkan sejak akhir 1980-an, S-400 mengalami penyempurnaan proyek pada Februari 2004. Kemudian pada 2007, sistem itu diaktifkan secara resmi.