Sultan Iskandar Muda Membangun Kaveleri dengan Kekuatan 1.000 Gajah

Sultan Iskandar Muda Membangun Kaveleri dengan Kekuatan 1.000 Gajah

Ketika masih berumur  empat tahun, Iskandar Muda diberi patung gajah dan kuda yang terbuat dari emas oleh kakeknya, Raja Indra Bangsa untuk permainan. Selain itu dia diberi dua biri-biri yang dapat bertarung, gasing dan panta (gatok) dari emas.

Tetapi dari berbagai pemberian itu, gajah yang benar-benar menarik perhatiannya. Hal ini pun disadari oleh  kakeknya hingga kemudian ketika cucunya itu berumur lima tahun, diberikanlah seekor anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain.

Kesenangannya terhadap binatang besar ini pun terus meningkat. Bahkan pada umur tujuh tahun, dia sudah berburu gajah liar.

Saat itu, gajah liar diburu bukan untuk dibunuh kemudian diambil gadingnya, tetapi untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah terbaik dan terbesar dijadikan gajah sultan, sedangkan sisanya untuk armada perang.

Dan ketika Iskandar Muda sudah menjadi raja, dia memiliki kemampuan terbaik dalam menjinakkan dan memperlakukan gajah. Gajah pun menjadi tunggangan kebanggaan Sang Sultan. Jika sultan mengendarai gajah, bawahannya harus mengendarai kuda, begitu sebaliknya.

Sejak kecil Iskandar Muda dekat dengan Laksamana Keumala Hayati atau Laksamana Malahayati panglima perang wanita Kasultanan Aceh yang memimpin para janda-janda perang. Oleh Malahayati Iskandar Muda diceritakan berbagai kisah tokoh-tokoh besar seperti Iskandar Zulkarnain yang juga memiliki tentara gajah.

Tak heran, saat akhinrya naik tahta, Raja Iskandar Muda membangun sebuah kavaleri bergajah yang sangat kuat. Pasukan ini memiliki mencapai 1.000 pasukan. Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.

Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu.

Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya. Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga tak takut suara senapan.

Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih.

Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka.

Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan.

Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna. Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa perlengkapan perang yang berat.

Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30 km/jam (20 mil/jam). Tidak seperti kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh infantri.

Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah.

Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar. Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah.

Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran.

Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk menaklukan beberapa wilayah di Sumatera dan semenanjung Malaya. Bahkan juga pernah digunakan untuk menggempur Portugis di Malaka. Hingga perang kemerdekaan pasukan bergajah di Aceh masih digunakan oleh pasukan KNIL.

Sultan Iskandar Muda

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda yang memerintah pada  tahun 1607 sampai 1636. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.  Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias.

Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Dia dikabarkan   menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Prancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri Dinasti Kerajaan Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar – pembesar Belanda.

Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda  Ratu Beatrix.

Sultan Iskandar Muda juga mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang sakit maka utusan Kerajaan Aceh terkatung-katung lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung.

Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.

Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Prancis yang  semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan.

Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.

Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.