Aneksasi Merayap Ala Rusia
Pasukan Rusia saat Perang 5 Hari di Georgia /Wikipedia

Aneksasi Merayap Ala Rusia

Pada 26 Agustus 2008, Moskow secara resmi mengakui Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai negara merdeka. Kedua daerah itu tidak memisahkan diri dari Georgia,  dan pengakuan dilakukan Rusia telah menyerbu Georgia beberapa minggu sebelumnya dan menduduki kedua wilayah itu.

Setelah mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, Kremlin berharap negara lain akan mengikuti jejaknya, dengan demikian membantu melegitimasi agresi militernya. Sepuluh tahun kemudian, harapan itu sebagian besar masih belum terpenuhi.

Saat ini, hanya empat negara — Suriah, Nikaragua, Venezuela, dan Nauru — yang mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut. Dukungan Suriah datang tahun ini, setelah Moskow membantu mereka melawan pemberontak.

Tiga negara lainnya memberi pengakuan lebih awal, tetapi dilakukan setelah Rusia menawarkan insentif ekonomi yang signifikan. Harga pengakuan dari Nauru adalah bantuan senilai US$ 51 juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Sementara Venezuela mengulurkan pinjaman $ 2,2 miliar untuk membeli senjata Rusia.

Meskipun kurangnya persetujuan internasional, pasukan Rusia terus menduduki dua wilayah Georgia, dan Moskow masih sering melanggar perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada tahun 2008.

Sejarah wilayah ini kompleks. Ketika Uni Soviet runtuh pada 1991, Georgia mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun keinginan kelompok separatis di Abkhazia dan Ossetia Selatan memaksa Georgia berjuang untuk mengerahkan kedaulatannya di wilayah-wilayah itu. Meskipun demikian, komunitas internasional — termasuk Rusia, setidaknya hingga invasi tahun 2008 — telah secara konsisten mengakui wilayah-wilayah itu memang bagian dari Georgia.

Pada 1990-an, pertempuran antara pasukan Georgia dan separatis Ossetia Selatan dan Abkhazia akhirnya membawa perjanjian gencatan senjata. Salah satu hasilnya adalah pasukan penjaga perdamaian Rusia dikerahkan ke kedua wilayah tersebut.

Namun, situasi di kedua wilayah itu tetap tegang. Akhirnya meledak pada 7 Agustus 2008.  Ketika dunia terpaku pada Olimpiade Musim Panas Beijing, Rusia menyerbu Georgia.

Moskow menggabungkan serangan cyber canggih yang melemahkan sistem internal Georgia, dengan kekuatan invasi konvensional yang terdiri dari ribuan pasukan dan ratusan kendaraan dan tank lapis baja. Pasukan Rusia bahkan maju hanya beberapa mil dari ibukota Tbilisi dan mengebom bandara sipil di sana.

Meskipun perang berlangsung hanya lima hari korban cukup besar. Ratusan orang terbunuh, dan banyak desa di Ossetia Selatan dan Abkhazia dihancurkan. Pasukan Rusia juga dilaporkan menjarah rumah etnis Georgia dan membakar mereka.

Pada 12 Agustus 2008, Rusia akhirnya menyetujui enam poin gencatan senjata yang ditengahi oleh delegasi Uni Eropa yang dipimpin oleh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Namun, setelah satu dekade penandatanganan perjanjian, Rusia masih melanggar ketentuannya.

Misalnya, dua minggu setelah menyetujui gencatan senjata, Rusia bahkan melangkah lebih jauh lagi  dengan mengakui Ossetia Selatan dan Abkhazia sebagai negara merdeka.

Efek perang masih terasa sampai sekarang. Ratusan ribu etnis Georgia tetap mengungsi dari rumah mereka. Keluarga tetap terpisah karena kebijakan “pembatas” Rusia untuk kedua wilayah tersebut.

Rusia terus melanggar gencatan senjata dan mengejar kebijakan creeping annexation  atau aneksasi merayap.  Misalnya, menurut penelitian oleh The Heritage Foundation sejak 2008, sedikitnya 56  kali Rusia telah mengambil wilayah Georgia tambahan di bawah pendudukan.

Di tempat-tempat seperti Afghanistan dan Irak, Georgia telah menjadi sekutu kuat bagi Amerika Serikat. Negara ini juga bekerja erat dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Untuk membantu temannya, Amerika tahun lalu menyediakan Tbilisi dengan rudal anti-tank Javelin dan sistem pertahanan udara Stinger. Washington harus melengkapi bantuan militer ini dengan persenjataan tambahan untuk Georgia.

Amerika Serikat juga harus mendorong empat negara yang berpihak kepada Rusia untuk menarik pengakuan mereka atas Ossetia Selatan dan Abkhazia dan meluruskan kembali kebijakan mereka dengan kebijakan komunitas internasional.

Tetapi Rusia tak juga berhenti. Strategi ini kembali diulang Rusia ketika menganeksasi Crimea pada 2014. Setelah berhasil mengambil wilayah tersebut dari Ukraina, Rusia kemudian membantu pemberontak untuk terus mengganggu stabilitas negara dan mendorong mereka untuk mendirikan negara yang terlepas dari Ukraina. Pada akhirnya jelas, jika negara baru terbentuk maka mereka akan merapat ke Moskow.

Diambil dari tulisannya Alexis Mrachek di National Interest. Mrahcek adalah  peneliti masalah Rusia dan Eurasia di Allison Center for Foreign Policy Studies at The Heritage Foundation