VOC semakin gelisah dengan kehadiran Inggris yang semakin kuat di Blambangan. Setelah Penguasa Kerajaan Mengwi yang berada di Bali memberikan izin kepada Inggris mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang dulunya pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan sebelum runtuh pada 1580, wilayah itu semakin ramai. Setelah melakukan berbagai pertimbangan maka VOC memutuskan untuk menduduki wilayah yang sejak lama tidak pernah dianggap penting oleh mereka.
VOC merasa memilik hak menguasai Blambangan yang sekarang dikenal sebagai Banyuwangi beradasarkan perjanjian dengan Pakubuwono II, raja terakhir Mataram Islam yang berkedudukan di Kartasura. Pada tahun 1743 PB II dipaksa meneken perjanjian dengan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang mewajibkan kekuasaan Mataram di Jawa bagian timur, dimulai dari Pasuruan hingga Blambangan, juga sebagian wilayah Madura diserahkan ke VOC. Dalam buku Sultan Hamengku Buwono 2 yang ditulis Djoko Marihandono & Harto Juwono yang dikutip tirto.id disebutkan perjanjian itu sebagai kompensasi VOC memberikan “uang sewa” kepada PB II sebesar 20 real setiap tahun.
Ekspedisi militer besar-besaran pun digelar VOC dengan mengirimkan ratusan serdadu Belanda dari Semarang, ditambah bantuan 3.000 prajurit dari Madura dan Pasuruan. Belanda juga mengirimkan 25 kapal besar dan sejumlah kapal-kapal berukuran lebih.
Pada 27 Februari 1767 Belanda mendirikan benteng pertahanan di Panarukan sekaligus menjadi tanda dimulai kampanye militer. Dari tempat ini pasukan VOC bergerak melalui jalur darat di bawah pimpinan Letnan Erdwijn Blanke dari Semarang. Dalam 22 hari, mereka tiba di Banyualit yang sudah termasuk wilayah Blambangan.
Tetapi rakyat Blambangan tidak bisa menerima kedatangan pasukan Belanda. Salah satu alasannya Blambangan tidak pernah menjadi wilayah Mataram. Memang kerajaan Islam itu mengklaim Blambangan sebagai wilayahnya, tetapi tidak pernah secara resmi penaklukan dilakukan. Blambangan awalnya menjadi wilayah Kerajaan Mengwi di Bali.
Bagi Mengwi, Blambangan sangat penting karena menjadi benteng untuk mencegah masuknya kekuatan Islam di Bali. Untuk itulah penguasa kerajaan kecil itu menggandeng Inggris untuk membangun kekuatan di wilayah tersebut.
Akibatnya, kedatangan pasukan VOC membuat rakyat Blambangan marah dan melakukan perlawanan di bawah Pangeran Puger. Buku Kerajaan Blambangan Banyuwangi yang ditulis Samsubur menyebutkan Pangeran Puger adalah putra Wong Agung Wilis, penguasa Blambangan saat itu. Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun justru memanfaatkan posisi pentingnya itu untuk menghimpun kekuatan anti VOC. Kekuatan Wilis diperkuat oleh orang-orang Madura, Bugis dan juga pedagang China.
Wilis juga didukung Bupati Malang, Malayakusuma yang juga cucu Untung Surapati dan dibantu Pangeran Jagapati yang masih keturunan Raja Blambangan, Prabu Susuhunan Tawangalun.
Sekitar sembilan bulan setelah kedatangan VOC, atau pada Oktober 1767, Wilis menyerang posisi VOC di Ulu Pampang. Tetapi upayanya gagal. Wong Agung Wilis dan pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Banda, Kepulauan Maluku.
Perlawanan Pangeran Puger membuat VOC semakin represif, hingga banyak masyarakat yang pilih menyingkir ke lerang Gunung Raung, tepatnya di wilayah bernama Bayu. Sekarang daerah ini termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi). Pangeran Jagapati yang tidak tertangkap VOC juga datang ke wilayah ini dan akhirnya memimpin dan mengobarkan lagi perjuangan.
Setelah kuat, pada 18 Desember 1771, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran yang dipimpin lagnsung Pangeran Jagapati. Pasukan VOC sudah siap menanti hingga akhirnya terjadilah perang habis-habisan yang dikenal sebagai Puputan Bayu. Lebih dari 60.000 orang Blambangan tewas.
VOC dalam perang itu mengerahkan 10.000 personel dengan senjata yang jauh lebih canggih. Biaya yang dihabiskan tidak sedikit, karena mereka harus menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang.
Cornelis Lekkerkerker catatannya yang berjudul Balambangan, Indische Gids II, mengakui Puputan Bayu ini menjadi peperangan paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC atau Belanda di Indonesia
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java yang dikutip Sri Margana, dalam buku The Puputan Bayu: War, Disease, and Demographic Catastrophe in Blambangan 1771-1773, juga menulis tentang perang ini. Raffles mengatakan sebelum Puputan Bayu, penduduk Blambangan lebih dari 80.000 orang, namun setelah perang tinggal tinggal 8.000 jiwa.
Perang ini benar-benar merugikan VOC karena setelah begitu banyak korban dan biaya yang dihabiskan untuk perang, sejarah kemudian membuktikan Blambangan ternyata bukan daerah yang menguntungkan.