Serangan Sultan Agung ke Giri Kedaton Menjadi Akhir Era Wali Tanah Jawa
Lukisan yang menggambarkan Sultan Agung

Serangan Sultan Agung ke Giri Kedaton Menjadi Akhir Era Wali Tanah Jawa

Ki Ageng Pemanahan sudah sekian lama dibuat gusar dengan sikap Sutan Hadiwijaya. Penguasa Pajang itu tidak juga segera menyerahkan hadiah yang dijanjikan kepadanya atas keberhasilannya membunuh Arya Penangsang. Padahal, Ki Penjawi, yang juga terlibat dalam pembunuhan tersebut sudah lama mendapatkan hadiah bumi perdikan Pati.

Untuk meminta langsung dia tetap merasa segan karena meski sahabat sejak muda, Hadiwijaya kini adalah seorang Sultan. Maka sebagai bentuk protesnya, dia menyatakan mundur dari jabatan panglima perang tertinggi Pajang dan selanjutnya bersama anaknya, Sutawijaya, tanpa menunggu izin langsung membuka hutan Mentaok.

Lambatnya Hadiwijaya memberikan hak Pemanahan tidak lepas dari rasa takut yang muncul dari sebuah peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di wilayah Japanan Mojokerto saat ada pertemuan dengan Sunan Giri. Pada masa itu, secara rutin para penguasa Jawa menghadap Sunan Giri untuk menerima wejangan berbagai ilmu.

Pemanahan ikut hadir dalam pertemuan tersebut dan ternyata menarik perhatian Sunan Giri. Cucu Ki Ageng Selo tersebut kemudian diminta duduk ke depan sejajar dengan para adipati/bupati. Secara mengejutkan Sunan Giri berkata bahwa kelak anak turunan Pamanahan ini akan menjadi raja Tanah Jawa.  Ramalan itulah yang mengganggu Hadiwijaya karena merasa akan tersaingi hingga menunda-nunda pemberian Mentaok karena bisa menjadi awal ramalan tersebut menjadi kenyataan

Ramalan yang tertulis dalam Babat Tanah Jawa itu akhirnya menjadi kenyataan. Di Mentaok akhirnya lahirlah kerajaan besar yang disebut sebagai Mataram Islam. Pajang ditaklukkan dan kemudian hanya menjadi kadipaten di bawah Mataram.

Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, yang merupakan raja ketiga, Mataram mencapai puncak kejayaan. Saat itu hampir seluruh Jawa telah takluk kecuali satu, Giri Kedaton yang saat itu dipimpin Sunan Giri V dan tetap menjadi panutan agama seluruh Jawa.

Mataram terus meluaskan wilayahnya dengan menundukkan banyak daerah. Menurut catatan De Han dan De Graff, kerajaan-kerajaan  kecil di pesisir utara Jawa demi satu diklaim sebagai ‘tanah milik’ Mataram. Tindakan ini membuat Sunan Giri V atau yang dikenal sebagai Giri Perapen merasa tidak senang. Saat pertemuan Bupati di Rembang,  Sunan Giri menegur secara halus Sultan Agung untuk tidak meneruskan ambisinya.

Sindiran yang tertuang dalam Kitab Al Asror  itu ternyata justru membuat Sultan Agung marah dan  terus meluaskan jajahannya. Puncaknya dengan menaklukkan Surabaya pada tahun 1625. Pangeran Jayenglengkara, adipati Surabaya pun menyatakan takluk pada Mataram.

Setelah Pangeran Jayalengkara wafat, Sultan Agung memanggil Pangeran Pekik, putra Jayalengkara untuk menghadap di Mataram dan diangkat untuk meneruskan jabatan ayahnya. Bukan itu saja dia dinikahkan dengan adiknya Ratu Pandansari.

Menarik Pangeran Pekik ke lingkaran kekuasaan merupakan strategi awal Sultan Agung untuk menyerang Giri Kedaton. Pada akhirnya nanti Pangeran Pekik yang ditunjuk untuk memimpin pasukan guna mengalahkan Sunan Giri V. Giri Kedaton harus ditundukkan untuk menegaskan kekuasaan Mataram dan menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pemimpin politik sekaligus agama.

Pangeran Pekik bimbang dengan tugas yang dia terima. Pekik masih keturunan Sunan Ampel yang juga seorang wali. Dia akan sangat segan jika harus berhadap-hadapan dan berperang sesama keturunan wali. Tetapi Pandansari sukses menjalankan misi ayahnya untuk mempengaruhi suaminya.

Akhirnya pada tahun 1636  Pangeran Pekik mulai mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri Kedaton yang ada di wilayah Gresik. Sultan Agung memberikan dua pusaka : Bende Mataram dan Tombak Kyai Plered. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk bergabung dengan laskar Surabaya dan kemudian menghantam Giri Kedaton.

Sunan Giri V adalah keturunan wali yang mewarisi keberanian dan keteguhan leluhurnya. Dia pun bersiap meski tidak memiliki pasukan banyak. Endrasena, seorang mualaf dari ningrat China beserta 200 pasukan terbaik disiapkan. Pangeran Pekik sebelum menyerang sempat secara khusus menghadap Sunan Giri untuk meminta agar lebih baik tunduk agar tidak terjadi pertumpahan darah. Tetapi permintaan itu ditolak atas pertimbangan Endrasena.

Pertempuran pun tidak bisa dihindarkan.  Pasukan Giri terbukti mumpuni dengan mampu memukul mundur prajurit gabungan  Mataram dan  Surabaya. Posisi Giri Kedaton yang berada di atas bukit memang menjadi keunggulan strategis bagi pasukan Endrasena.

Dalam kondisi sulit, Pandansari tampil.dia mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang tersebut. Tidak untuk dimarahi tetapi justru memberinya hadiah. Sehabis itu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah lagi sepulang dari medan laga membawa kemenangan. Upaya itu berhasil, pasukan kembali ke medan perang dan akhirnya Giri pun hancur.

Kisah penyerbuan Mataram ke Giri Kedaton lebih rinci dikisahkan dalam Babat Jalasutra yang menyebutkan serangan dilakukan Sultan AGung untuk melaksanakan permintaan gurunya, yakni Kiai Ageng Jalasutra alias Pangeran Panggung.

Kiai Ageng Jalasutra adalah murid Seh Siti Jenar yang dibunuh oleh para wali karena dianggap melanggar syariat.  Hal ini memunculkan dendam Ki Ageng Jalasutra. Dia kemudian mendirikan perguruan yang meneruskan ajaran Siti Jenar dan membuat Sultan Demak marah. Kiai Ageng Jalasutra dipanggil Sultan Demak dan dihukum bakar. Tetapi, dikisahkan Jalasutra selamat dari hukuman itu dan melanjutkan hidup sebagai pengembara dan menjadi guru Sultan Agung.

Versi manapun yang jelas Giri yang dulu meramal akan lahirnya kerajaan besar Mataram, kini dihancurkan sendiri oleh Mataram. Serangan Sultan Agung sekaligus mengakhiri institusi dewan wali. Era wali dihapuskan dalam sejarah Nusantara oleh Mataram.