Pernikahan Jadi Teknik Ki Juru Martani Meredam Konflik Mataram-Giring
Gambarang Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring

Pernikahan Jadi Teknik Ki Juru Martani Meredam Konflik Mataram-Giring

Sudah berhari-hari Senapati Ing Ngalaga merambah hutan di sisi timur kerajaan Mataram yang dipimpinnya. Bersam Ki Juru Martani, dia telah menempuh perjalanan berhari-hari untuk melaksanakan pertapaan.

“Aku sangat haus Pamanda,” kata Senapati kepada orang tua yang menjadi teman seperjuangan ayahnya Ki Ageng Pemanahan tersebut.

Ki Juru Martani yang juga berposisi sebagai patih tersebut merasa kasihan dengan kondisi rajanya tersebut. Dia menyadari kondisi Senapati memang sudah cukup lelah. Sesakti apapun orang, jika tidak minum maka tetap saja akan tidak berdaya.

Sebagaimana tertuang dalam Serat Sri Nata Babad Tanah Jawi terjemahan Anton Suparnjo Dipomenggolo disebutkan Ki juru Martani berupaya untuk mencari air, tetapi tak juga berhasil. Sampai kemudian dia ingat wilayah terseubt dekat dengan rumah seseorang yang sangat disegani yakni Ki Ageng Giring. “Sebaiknya kita ke rumah Ki Ageng Giring saja Ngger,” kata Ki Juru Martani yang diiyakan oleh Senopati.

Ki Ageng Giring sedikit kaget dengan kedatangan dua orang tersebut. Untuk Juru Martani dia tidak asing, tetapi sosok muda yang bersamanya belum pernah dia lihat. Darahnya berdesir ketika Juru Martani memperkenalkan siap orang yang bersamanya tersebut.

“Ini adalah Senapati Ing Ngalaga,” kata Juru Martani.

Bagi Ki Ageng Giring, nama Senapati Ing Ngalaga sudah kerap dia dengar, tetapi baru kali ini dia bertemu langsung. Bukan dia sebagai raja yang membuat Ki Ageng Giring jantungnya berdetak, tetapi dia ingat dengan Ki Ageng Pemanahan, ayahnya yang sudah mengingat sebuah janji dengannya.

Segera Ki Ageng Giring menjamu dua tamunya tersebut. Seorang gadis keluar membawa makanan dan minuman untuk tamu. Gadis yang ternyata adalah putri dari Giring. Dua tokoh tua, Giring dan Martani tiba-tiba memiliki pikiran yang sama. “Mungkin gadis ini akan jadi jalan untuk menyelesaikan sebuah masalah yang jika tidak diselesaiakan akan terus mengganggu perjalanan Mataram,” batin Ki Juru Martani.

Ki Ageng Giring, tokoh yang menetap di Gunungkidul memang menjadi sosok yang sangat penting bagi keberadaan Mataram. Perjanjiannya dengan Pemanahan sangat terkenal ketika mereka masih sama-sama berjuang mencari wahyu keraton.

Siapa Ki Ageng Giring dan apa perjanjian yang disepakati dengan Ki Ageng Pemanahan? Dalam Ensiklopedi Gunungkidul disebutkan Ki Ageng Giring dalam kisah ini adalah mengacu pada Ki Ageng Giring III. Ki Ageng Giring I adalah salah seorang keturunan Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan sekitar 6 km arah barat daya kota Wonosari.

Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan disebut sama-sama murid dari Sunan Kalijaga. Karena sama-sama trah Majapahit keduanya bertekad untuk meneruskan kejayaan negeri tersebut.

Lepas apakah kisah ini nyata atau sanepan (cerita yang dikisahkan dengan menggunakan gambaran lain), dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan Ki Ageng Giring mendapatkan wangsit bahwa wahyu kerajaan akan turun pada sebuah pohon kelapa yang hanya berbuah satu. Siapa yang meminum air tersebut, maka dialah yang akan menurunkan para raja Jawa selanjutnya.

Singkat cerita Ki Ageng Giring memetik buah kelapa tersebut tetapi menyimpannya dan ditinggal ke ladang supaya dia haus. Karna syaratnya air kelapa harus habis dalam satu kali minum. Saat di ladang itulah Pemanahan datang, dalam kondisi haus dia segera minum air kelapa itu.

Tentu saja ini membuat Ki Ageng Giring kaget, marah, kecewa tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah takdir bukan keturunannya yang menjadi raja. Tetapi kemudian Ki Ageng Giring meminta janji Pemanahan bahwa nantinya raja ketuju Mataram harus diambil dari keturunannya. Pemanahan pun menyetujui.

Perjanjian itulah yang membuat Ki Ageng Giring berdesir saat kedatangan Senapati Ing Ngalaga. Saat melihat anak gadisnya keluar, Giring ingin meminta agar Senapati menikahinya agar ada jalan untuk memenuhi janji tersebut. Tetapi bagaimanapun dia tidak ingin terlalu merendahkan diri. Dalam pemikiran Juru Martani juga muncul ide yang sama, tetapi dia masih menahan diri dan akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara.

Setelah merasa cukup, kedua tamu itu segera minta diri, dan dalam perjalanan dari Giring itulah Ki Juru Martani mengungkapkan idenya agar raja pertama Mataram itu menikahi putri Ki Ageng Giring. Awalnya raja yang masa mudanya bernama Sutawijaya itu menolak. Alasannya, gadis itu tidak cantik. Tetapi setelah dijelaskan tentang perjanjian ayahnya dengan Ki Ageng Giring, mau tidak mau Senapati berpikir juga. “Jika tidak diselesaikan, masalah ini akan terus mengganggu perjalananmu, Ngger,” rayu Ki Juru Martani.

Akhirnya, putra angkat Hadiwijaya yang saat di Pajang berjuluk Mas Ngabehi Loring Pasar tidak bisa menolak. Keduanya kembali ke kediaman Ki Ageng Giring dan menyatakan niatnya yang tentu saja disambut gembira. Akhirnya Senapati menikahi putri Giring dan tinggal beberapa waktu di tempat tersebut. Disebutkan saat Senapati kemudian kembali ke Mataram, istrinya ditinggal dalam kondisi hamil. Dalam Babad Tanah Jawa tidak disebutkan siapa nama anak Ki Ageng Girint tersebut, tetapi dalam Ensiklopedi Gunungkidul disebutkan Ki Ageng Giring memiliki dua anak yakni satu laki-laki bernama Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV dan satu perempuan bernama Rara Lembayung

Lagi-lagi Ki Juru Martani menunjukkan dirinya sebagai pengatur strategi yang handal karena setidaknya tidak ada lagi masalah dengan Ki Ageng Giring yang bisa saja meletup menjadi perlawanan di masa depan.

Hanya saja, apakah kemudian janji raja ketujuh adalah keturunan Ki Ageng Giring memang tetap sulit untuk dilacak dan dibuktikan. Salah satunya karena intrik dan campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras.

Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke Kartasura dan akhirnya dari Kartasura ke Surakarta. Kita hanya mengetahui Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya secara kewilayahan, keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi. Namun pasca Sultan Agung, Mataram benar-benar harus berjuang mempertahankan eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun eksternal berupa kedatangan penjajah.

Namun Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, mengisahkan pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan.

Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.

Bayi itu kemudian dikenal sebagai Pangeran Puger. Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Pangeran Puger menjadi raja Mataram dengan gelar Paku Buwono I dan diyakini berdarah Giring.