Israel Punya Ratusan Nuklir dan Sebagian Disimpan di Bawah Laut

Israel Punya Ratusan Nuklir dan Sebagian Disimpan di Bawah Laut

Meski tidak pernah mengakui secara resmi, sudah rahasia umum Israel memiliki senjata nuklir. Tel Aviv diperkirakan memiliki 80 hingga 300 senjata nuklir. Jika sampai 300 berarti melebihi nuklir di gudang senjata China.

Awalnya, pasukan nuklir Israel bergantung pada bom nuklir yang dijatuhkan di udara dan rudal balistik Jericho.  Ketika tentara Mesir dan Suriah menyerang Israel selama Perang Yom Kippur 1973, satu skuadron yang terdiri dari delapan jet F-4 Phantom Israel yang sarat dengan bom nuklir ditempatkan dalam siaga penuh oleh Perdana Menteri Golda Meir.

Tetapi nuklir berbasis udara dan darat rentan untuk dijadikan sasaran serangan lawan. Untuk itu Israel pun mulai mengembangkan sistem peluncuran nuklir drai bawah laut.

Kebanyakan, rudal nuklir bawah laut diluncurkan oleh kapal selam rudal balistik bertenaga nuklir yang besar dan dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan dengan tenang di bawah laut dalam dan setiap saat bisa melepaskan rudal balistik ke pusat pertahanan musuh. Tetapi kapal selam ini terlalu mahal hingga Israel mencari alternatif yang lebih terjangkau.

Jalan terbuka ketika Perang Teluk 1991, terbukti para ilmuwan dan perusahaan Jerman telah memainkan peran dalam menyebarkan rudal balistik dan teknologi senjata kimia ke berbagai pemerintah Arab. Teknologi yang membantu Saddam Hussein dalam membombardir Israel dengan rudal Scud.

Israel marah dan membalas dengan melakukan upaya pembunuhan, penculikan dan pemboman yang menargetkan para ilmuwan senjata Jerman yang bekerja untuk pemerintah Arab. Kanselir Jerman kal itu Helmut Kohl kemudian mengambil langkah damai dan berjanji memberi kompensasi kepada Israel. Bentuknya adalah kapal selam.

Kohl menawarkan untuk mensubsidi sepenuhnya pembangunan dua Tipe 209 yang diperbesar yang disebut sebagai Kelas Dolphin untuk Israel. Jerman juga akan menutupi 50 persen biaya pembangunan kapal selam ketiga pada tahun 1994.

Kelas Dolpin memiliki bobot 1.900 ton saat terendam dengan panjang 57 meter dan diawaki 35 orang serta dapat menampung hingga sepuluh personel pasukan khusus.  Kapal ini memasuki layanan 1999-2000 sebagai Dolphin, Leviathan dan Tekumah.

Setiap Dolphin dilengkapi dengan enam tabung biasa untuk menembakkan torpedo 533-milimeter dipandu serat optik DM2A4 dan rudal anti-kapal Harpoon serta empat tabung berukuran 650 milimeter, yang langka di kapal selam modern.

Tabung-tabung ini dapat digunakan untuk menyebarkan komando angkatan laut untuk misi pengintaian dan sabotase, yang telah memainkan peran utama dalam operasi kapal selam Israel.

Namun, tabung torpedo ukuran plus ini memiliki fungsi tambahan yang berguna: mereka dapat mengakomodasi terutama rudal jelajah berbasis kapal selam atau  submarine-launched cruise missiles (SLCM) dengan mesin cukup besar untuk membawa hulu ledak nuklir.  Jika rudal balistik bergerak ke ruang angkasa dan kemudian melaju dengan kecepatan suara, rudal jelajah terbang jauh lebih lambat dan meluncur rendah di atas permukaan bumi.

Pada 1990-an Amerika Serikat menolak untuk menyediakan Israel dengan rudal jelajah Tomahawk yang diluncurkan di bawah kapal selam karena aturan Missile Technology Control Regime Rezim Kontrol yang melarang transfer rudal jelajah dengan jangkauan melebihi 300 mil.

Tel Aviv akhirnya mengembangkannya sendiri. Pada tahun 2000, radar Angkatan Laut Amerika mendeteksi peluncuran uji SLCM Israel di Samudera Hindia yang mencapai target 930 mil jauhnya. Senjata ini secara umum diyakini sebagai Popeye Turbo yang diadaptasi dari rudal jelajah subsonic yang diluncurkan dari udara dan diduga membawa hulu ledak nuklir 200 kiloton.

Namun, karakteristik SLCM terselubung dalam kerahasiaan dan beberapa sumber menyarankan bahwa rudal ini seluruhnya berbeda. Kapal selam Dolphin Israel mungkin telah menyerang pelabuhan Suriah Latakia dengan rudal jelajah konvensional pada tahun 2013 karena laporan pengiriman rudal anti-kapal P-800 Rusia.

Kapal Selam kelas Dolpin Israel

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian membeli tiga kapal selam ke Jerman lagi yang menimbulkan kontroversi karena banyak yang merasa kapal tambahan tidak diperlukan.

Pada tahun 2012, Der Spiegel menerbitkan sebuah paparan yang menjelaskan bagaimana insinyur Jerman sangat menyadari peran yang akan diemban oleh Dolphin 2 yaakni sebagai sistem pengiriman senjata nuklir.

Laporan ini menimbulkan beberapa kontroversi publik, karena Kanselir Merkel diduga menyetujui penjualan tersebut sebagai imbalan atas janji yang belum direalisasi dari Netanyahu untuk mengadopsi kebijakan yang lebih damai terhadap Palestina.  Israel telah menerima dua Dolphin 2, Rahav (‘Neptunus’) dan Tanin (‘Buaya’) dengan kapal ketiga, Dakar diharapkan datang pada 2018 atau 2019.

Dolphin 2 memiliki bobot 2.400 ton dan didasarkan pada kapal selam Tipe 212  yang menampilkan teknologi Air- Propulsi Independent dan bisa berenang lebih cepat dengan kecepatan 25 knots.

Namun, ada kendala geografis yang mengurangi kepraktisan penangkal nuklir berbasis laut Israel. Untuk saat ini, hanya ada satu target yang dituju yakni Iran, sebuah negara yang terletak ratusan mil jauhnya dari Israel.

Meski Teheran terletak hampir di dalam jangkauan kapal selam Israel sepanjang 930 mil yang ditempatkan dari pangkalan mereka di Haifa ke Laut Mediterania, rudal akan menghabiskan lebih dari satu jam melintasi Suriah dan Irak, menimbulkan tantangan navigasi dan kemampuan bertahan hidup.

 

Jalan yang lebih dekat untuk serangan akan terletak di Teluk Persia, tetapi kapal harus transit melalui Terusan Suez yang dikendalikan oleh Mesir, di sekitar Afrika akan tidak praktis dan jauh untuk kelas Dolphin, atau menempatkan beberapa di pangkalan angkatan laut di Eilat  yang menghadap Teluk Aqaba di ujung selatan Israel namun dikelilingi oleh Mesir, Yordania dan Arab Saudi.

Singkatnya, mengerahkan kapal selam Israel ke sisi selatan Iran akan membutuhkan kerja sama dan dukungan logistik dari negara-negara Timur Tengah lain yang mungkin akan sulit didapat.