6 Desember 1822 sore Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terguncang. Sri Sultan Hamengkubuwono IV yang bertahta ditemukan meninggal dalam keadaan yang mengerikan. Seluruh tubuhnya membengkak sesaat setelah dia makan saat dalam perjalanan pulang dari berwisata.
Suasana mencekam tidak bisa dihindari. Tidak saja karena kematian sang raja, tetapi muncul saling curiga antar kelompok siapa yang telah melakukan tindakan keji tersebut. Patih Danureja IV menyebarkan tuduhan bahwa Pangeran Diponegoro yang menjadi otak pembunuhan raja yang masih berusia 16 tahun tersebut. Alasannya, Diponegoro dinilai ingin merebut tahta kerajaan.
Tentu saja Diponegoro tidak terima. Dia balik menuduh bahwa Danureja IV yang harus bertanggungjawab. Danureja IV dikenal sebagai sosok yang sangat sentral dalam pemerintahan kala itu. Usia sang raja yang masih belia menjadikan dia bisa menebarkan pengaruh terutama untuk tunduk kepada Inggris dan membuat kebijakan yang merugikan kawula Kasultanan.
Hingga saat ini kematian Hamengkubuwono IV tetap menjadi misteri. Dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 yang ditulis Peter Carey dalam pada 2011 disebutkan wafatnya Hamengkubuwono IV terjadi pada pukul 15.30. Karena dia meninggal saat berwisata maka kemudian dia mendapat julukan Sultan seda besiyar atau sultan yang wafat tatkala pesiar.
Sedangkan kondisi mengerikan dari Hamengkubuwono IV saat meninggal diungkap sendiri oleh Pangeran Diponegoro beberapa tahun kemudian. Ketika dia ditangkap di Magelang dan dibawa ke Batavia, di perjalanan dia mengisahkan kejadian itu kepada Kapten J.J. Roeps yang mengawalnya.
Perbincangan itu tercatat dalam koleksi pribadi Cornets de Groot dan dikutip Peter Carey dalam bukunya yang dikutip Tirto.id
“Ketika [Hamengkubuwono IV] wafat tubuhnya membengkak mengerikan,” kata Diponegoro.
“Kalau begitu ia pastilah diracuni,” timpal Roeps.
“Ia menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih [Danureja IV] dan hanya sejam kemudian ia wafat” lanjut Diponegoro dengan ekspresi wajah yang disebutkan tidak berubah.
Hamengkubuwono IV sendiri naik tahta sebagai rentetan dari krisis tahta yang terjadi sejak era ayahnya Pangeran Suraja dinobatkan sebagai Hamengkubuwono III pada 28 Juni 1812. Dia menggantikan Hamengkubuwono II yang dipaksa turun oleh Belanda karena dituduh membantu pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja. Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono III, Kasultanan Ngayogyakarta benar-benar berada di bawah pengaruh Belanda dan Inggris yang kemudian menggantikannya.
Hamengkubuwono III juga meninggal secara misterius. Muncul masalah karena putra mahkota Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, anak dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono masih berusia 10 tahun. Namun meski sangat belia dia tetap dilantik menjadi Hamengkubuwono IV. Untuk menjalankan pemerintahan Hamengkubuwono IV didampingi wali raja yakni Pangeran Natakusuma atau Pakualam I.
Buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta (1990) menyebutkan Pangeran Jarot sebenarnya bukan anak sulung. Ada putra tertua bernama Raden Mas Antawirya atau yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Diponogoro. Tetapi dia lahir dari selir bernama R.A. Mangkarawati.
Pada masa-masa ini Patih Danureja IV melakukan berbagai intrik. Peter Carey dalam Sisi Lain Diponegoro mencitrakan pejabat tinggi kesultanan ini sebagai sosok yang korup dan ambisius, selain dikenal penjilat dan kerap membantu Belanda demi kepentingan pribadinya.
Setelah raja berusia 16 tahun, Natakusuma melepaskan jabatan sebagai wali raja dan fokus memimpin Pakualaman. Tidak lam setelah itu raja pun ditemukan wafat dalam kondisi mengerikan.
Tahta berdarah ternyata tidak terhenti di Hamengkubuwono IV. Penerusnya pun mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Gusti Raden Mas Gathot Menol, putra mahkota kemudian dilantik sebagai Hamengkubuwono V pada 19 Desember 1823. Masalahnya juga sama dengan ketika ayahnya menjadi raja, dia masih bocah. Gusti Raden Mas Gathot Menol dikukuhkan sebagai sultan pada usia tiga tahun.
Karena masih terlalu muda pada 17 Agustus 1826 atau tiga tahun setelah pelantikan pemerintah Hindia Belanda kemudian melengserkan Hamengkubuwono V dan mengangkat lagi Hamengkubuwono II yang dulu dilengserkan untuk menjadi raja dan dibuang ke Maluku.
Belanda berharap pengaruh raja yang sudah tua itu itu bisa meredam konflik terutama sikap Pangeran Diponegoro yang sudah secara terang-terangan meninggalkan kraton dan mengobarkan perang. Setelah Hamengkubuwono II mangkat pada 3 Januari 1828, Hamengkubuwono V yang dulu dilengserkan duduk kembali ke tahta.
Sikap Hamengkubuwono V yang cenderung menurut kepada Belanda serta pengaruh besar dai Patih Danureja memunculkan ketidakpuasan di kalangan internal. Dalam buku KGPA Mangkubumi: Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Bambang Sularto 1986 disebutkan salah satu yang tidak puas adalah Raden Mas Mustojo adik kandung Sultan.
Pada 5 Juni 1855 darah kembali bersimbah di tahta Kasultanan ketika Hamengkubuwono V meninggal di kamarnya. Raja itu ditikam dari belakang dengan keris oleh istri selirnya Kanjeng Mas Hemawati. Pembunuhan terjadi ketika permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. Dia kemudian melahirkan putra penerus tahta 13 hari setelah meninggalnya raja yang kemudian dikenal sebagai Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Polemik siapa yang akan menjadi raja kembali muncul. Akhirnya Raden Mas Mustojo yang naik tahta dengan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana VI dengan janji hanya akan berkuasa sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan. Yang menarik, tidak ada keterangan sama sekali tentang Kanjeng Mas Hemawati yang membunuh raja. Inilah yang memunculkan desas-desus bahwa sebenarnya ada hubungan kerjasama antara Mas Mustojo dan Hemawati.
Kekuasaan melupakan janji. Itulah yang dialami Hamengkubuwono VI. Bukannya menyerahkan kekuasaan pada Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad yang sebenarnya adalah pewaris sah tahta tetapi justru mengangkat anaknya Raden Mas Murtejo menjadi putra mahkota. Setelah Hamengkubuwono VI wafat pada 20 Juli 1877 dia pun naik tahta menjadi Hamengkubuwono VII.
Tentu saja Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad memprotes keputusan ini. Tetapi mereka justru ditangkap karena dianggap membangkang. Keduanya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara dan meninggal di sana.
Setelah Hamengkubuwono VII maka tahta Kasultanan Ngayogyakarta cenderung damai. Tidak ada lagi pergantian raja dengan cara berdarah-darah.
Sejak 28 Juni 1812 ketika Hamengkubuwono III naik tahta yang berakhir dengan kematian hingga 20 Juli 1877 ketika Hamengkubuwono VI wafat setelah menggantikan sultan pendahulunya yang wafat dibunuh selirnya menjadi periode suram Kasultanan yang didirikan Pangeran Mangkubumi tersebut. Selama kurun waktu itu pergantian kekuasaan diwarnai dengan tetesan darah