Dalam beberapa hari terakhir, nama Tanjung Balai banyak diperbincangkan terkait kasus Meliana yang divonis 18 bulan terkait soal azan. Sebenarnya jika Anda mau membaca secara komprehensif laporan tentang hal itu, termasuk kerusuhan Tanjung Balai setahun sebelumnya, maka masalah yang ada tidak sesederhana itu. Ada begitu masalah kompleks yang mengawali hal itu sampai terjadi.
Tetapi kita tidak akan membicarakan soal itu. Sudah banyak yang melakukannya dan ikut campur ke masalah tersebut hanya akan memperkeruh suasana. Silahkan telaah materi yang sudah bertebaran itu dengan imbang dan teliti sebelum kemudian berpendapat dan bersikap.
Hal yang akan kita bahas adalah bahwa Tanjung Balai merupakan daerah dengan catatan sejarah panjang. Di wilayah ini, salah sejarah nusantar terbangun termasuk dalam perlawanan terhadap penjajah.
Tanjung Balai menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Asahan yang ada sejak abad ke-17. Meski tidak seperti Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang masuk memiliki kekuatan sosial, budaya bahkan politik yang kuat, Kesultanan Asahan sebenarnya masih ada hingga sekarang ini. Sultan Asahan tetap diangkat dari waktu ke waktu tetapi sebatas sebagai kepala dari keluarga kesultanan.
Tanjung Balai berasal dari dua kata yakni Tanjung yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau dan ‘Balai’ sebuah bangunan yang didirikan oleh Sultan Iskandar Muda. Sejarah mencatat, berdirinya Kesultanan Asahan memang tidak lepas dari Kasultanan Aceh.
Mengutip Buku Babon Kerajaan-Kerajaan di Nusantara yang ditulis Gustama dan Faisal Ardi tahun 2017 disebutkan sebelum berada di bawah Kasultanan Aceh, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Raja Margolang. Pada tahun Sultan Iskander Muda melakukan penyerbuan ke Kerajaan Aru, yang berpusat di daerah Deli pada 1612. Saat itu, pasukan Aceh Darussalam sedang mengejar Sultan Johor yang diketahui bekerjasama dengan Portugis.
Dalam pengejaran itu, Sultan Iskandar Muda dan pasukannya menyusuri sebuah sungai hingga tiba di suatu tanjung yang sangat indah. Tanjung itu merupakan pertemuan antara dua sungai, yakni Sungai Asahan dan Sungai Silau.
Terpesona dengan pemandangan di sekitar tanjung, dia memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membangun tempat peristirahatan berupa balai. Itulah asal muasal nama Tanjung Balai, yang nantinya akan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Asahan.
Sultan Iskandar Muda bertemu dengan Raja Margolang yang menguasai wilayah tersebut dan secara terbuka meminta wilayah itu sebagai bagian dari Kasultanan Aceh. Raja Margolang tak berkutik mengingat kebesaran Aceh saat itu.
Selanjutnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1830 mengangkat anaknya, Abdul Jalil menjadi penguasa pertama wilayah tersebut dan secara resmi Kesultanan Asahan berdiri.
Ketika kekuasaan Kasultanan Aceh Darrusalam mulai meredup Kesultanan Asahan melepaskan diri dan menjadi kerajaan sendiri pada abad ke-19. Pada masa pemerintahan Sri Paduka Tuanku Sultan Ahmad Shah, Kesultanan Asahan mendapat ancaman dari Kesultanan Siak Sri Inderapura, yang berpusat di wilayah Riau.
Kesultanan Siak Sri Inderapura berencana menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Aceh Darussalam, termasuk Asahan.
Untuk mewujudkan keinginannya itu Kesultanan Siak Sri Inderapura kemudian meminta bantuan Belanda. Namun Sultan Ahmad Shah yang memimpin Kasultanan Asahan menolak tunduk pada pemerintahan Siak. Utusan Belanda yang datang untuk menyampaikan permintaan menyerah diusir yang direspons Belanda dengan mengirimkan pasukan.
Pasukan Belanda tiba di Kampung Boga, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Asahan, pada 1865. Mereka kemudian bergerak ke pusat pemerintahan Kesultanan Asahan di Tanjung Balai. Pertempuran antara Belanda dan Asahan terjadi di beberapa daerah.
Pasukan Belanda berhasil memukul mundur pasukan Asahan dan menaklukan satu demi satu wilayah kekuasaan Asahan. Sultan Ahmad Syah semakin terdesak dan memutuskan untuk masuk ke pedalaman meminta bantuan raja-raja Batak.
Namun kekuatan Belanda masih terlalu besar, dan berhasil menduduki istana Tanjung Balai. Sejak 12 September 1865, seluruh wilayah Kesultanan Asahan berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah masa penjajahan berakhir Kesultanan Asahan melebur ke dalam negara Republik Indonesia pada tahun 1946.
Ironisnya, Kesultanan Asahan juga menjadi awal keruntuhan kejayaan Melayu Sumatera Timur. Hampir setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, di Tanjung Balai, 3 Maret 1946, sejak pagi ribuan massa dari Laskar Rakyat (republikan ekstremis yang berisi para orang-orang komunis) telah berkumpul karena mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung Istana Indra Sakti. Awalnya gerakan massa ini dihadang Tentara Republik Indonesia namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan. Besoknya, hampir semua bangsawan Melayu pria ditangkap dan dibunuh oleh Laskar Rakyat.
Pada tanggal 5 Maret 1946 Wakil Gubernur Sumatera Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan brutal itu merupakan suatu “Revolusi Sosial”. Keterlibatan PKI dalam revolusi sosial di Sumatera Timur sangat nyata; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, wakil gubernur Mr. Amir secara resmi mengangkat M. Yunus Nasution yang juga ketua PKI Sumatera Timur sebagai Residen Sumatera Timur.
Pergolakan berlanjut pada 8 Maret. Penguasa daerah Bilah dan para tengku Langkat ditangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri sultan Langkat, pada malam jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret 1946, dan dibunuhnya penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah.
Gerakan menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis komunis. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja serta para sultan ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar. Hanya sultan Deli dan sultan Serdang yang tidak ditahan, karena istana mereka dijaga oleh tentara KNIL dan banyaknya kerabat kesultanan yang menjadi anggota-anggota partai politik, serta sikap sultan yang dikenal sangat anti Belanda.
Hinga kini para sultan-sultan Sumatera Timur masih diakui keberadaannya, walaupun tanpa kuasa yang luas, hanya sebagai kepala keluarga istana dan Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, khususnya adat dan budaya Melayu Sumatera Timur.
Selain wilayah Kota Tanjung Balai daerah yang dulunya masuk di wilayah Kesultanan Asahan adalah, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan.