Misteri Kematian Gadjah Mada

Misteri Kematian Gadjah Mada

Gadjah Mada adalah tokoh besar bukan hanya dalam sejarah Majapahit tetapi bagi Nusantara. Hal yang aneh adalah untuk tokoh sebesar Gadjah Mada, kisah kematiannya sangat misterius. Bahkan tidak ada yang tahu di mana Mahapatih sekaligus panglima perang ini dimakamkan.

Kematian Gadjah Mada semesterius asal usul tokoh ini. Karena siapa sebenarnya Gadjah Mada juga tidak diketahui secara pasti.

Beberapa catatan tentang kematian Gadjah Mada menuturkan kisah yang berbeda-beda. Dalam kitab Kakawin Nagarakretagama, disebutkan bahwa Gajah Mada melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang ada di sebelah timur Pulau Jawa, termasuk daerah-daerah di Pulau Sumbawa, seperti Taliwang, Dompo (Dompu), Sapi, Sanghyang Api (Pulau Sengeang), dan juga Bima. Kemudian Gajah Mada dikabarkan meninggal dunia pada 1364 M setelah mengalami sakit.

Di Selaparang, Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat makam yang dipercayai sebagai makam Gajah Mada.  Bentuk makam tersebut seperti sumur bundar dengan susunan batu sungai berukuran sedang yang tertata rapi tanpa tulisan apa pun.

Masyarakat Tuban, Jawa Timur pun menyakini jika Gajah Mada dimakamkan di daerah mereka tepatnya di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban . Makam tersebut dikenal dengan nama Makam Barat Ketiga. Barat Ketiga merupakan istilah dari bahasa Jawa yang jika dialihbahasakan berarti angin kemarau.

Di Provinsi Lampung juga ada makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan yang terakhir bagi Patih Gajah Mada.

Makam tersebut terletak di Pugung Tampak, Kabupaten Liwa, Provinsi Lampung. Konon dahulu kala Kapal yang ditumpangi Patih Gajah Mada tenggelam di Perairan Pugung, setelah tiba di Pugung Patih Gajah Mada jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Pekon Pugung.

Keyakinan itu dikuatkan dengan adanya pusara makam serta peninggalan berupa keris, mahkota, pedang, tombak, ikat pinggang, ikat kepala, dan peninggalan lainnya. Sejak dulu, tempat yang diyakini sebagai lokasi makam Gajah Mada itu hanya berupa gundukan tanah merah.

Baru pada 1981 dibangun pagar keliling. Setelah itu diperbaiki kembali dengan membuat lantai di sekitar lokasi makam pada 2010.

Warga pesisir pantai antara Pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora, tepatnya di Kampung Mada, Desa Matiri, Batauga, Kepulauan Wangi-wangi, Buton, Sulawesi Tenggara juga menyakini makam Gajah Mada berada di wilayahnya.

Hal ini dibuktikan dengan adanya batu prasasti yang dinamakan Batu Mada. Konon Gajah Mada yang memiliki banyak kesaktian memilih salah satu gua di wilayah Togo Moori untuk bertapa.

 

Di gua daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah Patih Gajah Mada moksa (saat semadi.

Namun Kidung Sunda Pupuh disebutkan bahwa Gajah Mada moksa atau menghilang.  Dalam Pupuh ke tiga dari kidung tersebut dijelaskan bahwa Prabu Hayam Wuruk cemas menyaksikan peperangan Bubat antara pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada dengan pasukan Kerajaan Sunda.

Hayam Wuruk kemudian menuju ke pesanggaran Dyah Pitaloka, putri Sunda yang rencananya akan dijadikan istri. Tetapi putri itu ditemukan sudah dalam kondisi tewas hingga membuat prabu Hayam Wuruk pun meratapinya. Bahkan dikisahkan Hayam Wuruk yang merana akhirnya meninggal dunia tidak lama setelah Dyah Pitaloka disemayamkan.

Kematian Hayam Wuruk membuat beberapa tokoh Majapahit menyalahkan Gadjah Mada. Sosok yang seharusnya menjemput Dyah Pitaloka justru menjadikan kesempatan itu untuk menyerang pasukan guna menundukkan Sunda yang saat itu belum takluk di bawah Majapahit. Perang ini dikenal sebagai Perang Bubat yang dendam budayanya masih terbawa hingga era modern sekarang ini. Jika Anda pernah mendengar larangan orang Sunda menikah dengan orang Jawa, maka perang Bubat inilah pemicunya.

Raja Kahuripan dan Raja Daha yang keduanya masih Paman Hayam Wuruk akhirnya sepakat menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka Bubat. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya.

Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan dengan membawa pasukan. Gajah Mada memilih untuk moksa (meninggal dan hilang bersama raganya).

Kitab Pararaton mengisahkan hal yang berbeda. Setelah Perang Bubat, Gajah Mada menikmati masa istirahat setelah 11 tahun menjadi mangkubumi.  Di akhir masa hidupnya Patih Gajah Mada pergi meninggalkan Keraton Majapahit ke arah timur.  Selanjutnya, diceritakan bahwa sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun 1290 Saka atau 1368 Masehi.

Ada sejumlah tempat yang dipercayai sebagai makam Gajah Mada diantaranya Situs Wadu Nocu di Desa Padende, Donggo, Bima, Nusa Tenggara Barat.

Menurut keyakinan masyarakat setempat Wadu Nocu adalah makam Gajah Mada. Keyakinan ini diungkapkan secara turun temurun oleh penjaga makam tersebut.

Bima termasuk wilayah yang pernah ditaklukan Gajah Mada. Ketika Gajah Mada menaklukan suatu wilayah bukan suatu yang mustahil jika dia membuat sebuah tempat yang pada ratusan tahun kemudian bisa dikatakan sebagai petilasan.

Namun berbagai versi tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Menurut sejarawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Aminuddin Kasdi, meskipun Gajah Mada punya jasa besar dalam kerajaan Majapahit, namun dia tetap seorang rakyat. Di mana pada masa itu, hanya Raja saja yang kematian dan kisah hidupnya diabadikan dalam bentuk candi atau lainnya.

“Harus dipahami bahwa hanya Raja yang boleh dibuatkan candi dan patungnya. Hal ini karena Raja di masa itu dianggap sebagai titisan dari dewan,” ujar Aminuddin sebagaimana dikutip merdeka.com beberapa waktu lalu.

Hal itulah yang membuat sulit untuk mengetahui asal usul hingga makam Patih Gajah Mada. Meski pun pernah menyandang gelar Amangkhubumi, jabatan sekelas perdana menteri, Gajah Mada tetap hanya seorang rakyat yang mengabdi dan mendedikasikan hidupnya untuk sang raja.

“Jadi memang tidak ada bangunan khusus untuk mengenang Gajah Mada. Di era itu hanya raja yang bisa dibuatkan candi, bahkan terkadang istri raja pun tidak,” imbuhnya.

Yang jelas  setelah Gadjah Mada meninggal  Hayam Wuruk kesulitan mencari penggantinya hingga akhirnya mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk mencari penggantinya. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada.

Raja Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung di bawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang menteri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.