Sejarah besar bisa saja dimulai atau dipengaruhi oleh hal yang kecil dan sepele. Salah satunya peran kerbau gila yang secara tidak langsung ikut membuka jalan lahirnya kerajaan Mataram Islam.
Bisa jadi kisah ini benar atau sekadar mitos, yang jelas tertulis dalam Babat Tanah Jawi yakni kisah tentang kerbau gila yang membuat Raja Demak, Trenggono menyerah pada keadaan.
Kisah dimulai ketika Mas Karebet atau Joko Tingkir yang saat itu menjadi prajurit Wiratamtama atau pasukan khusus pengawal raja membuat kesalahan. Dia membunuh Dadung Awuk, salah satu orang yang mendaftar sebagai calon Wiratamtama. Dadung Awuk disebut sangat sombong saat seleksi hingga membuat Karebet marah dan akhirnya bertarung yang berakhir dengan kematian calon prajurit tersebut.
Untuk mengingatkan kembali Karebet adalah putra dari Kebo Kenanga yang dirawat oleh Nyai Tingkir istri Ki Ageng Tingkir yang merupakan saudara seperguruan Kebo Kenanga. Kelak Joko Tingkir ini diangkat menjadi menantu Trenggono dan kemudian justru menjadi Sultan Pajang, penerus Demak yang dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya.
Kembali ke kisah Dadung Awuk tadi. Karena kasus tersebut, Mas Karebet terancam dihukum mati oleh Trenggono. Dia pun segera pergi untuk menghindari hukuman tersebut.
Situasi sulit dihadapi Karebet karena bagaimanapun dia ingin kembali ke lingkaran kekuasaan Demak. Apalagi dia sudah naksir berat sama putri Trenggono. Maka dibuatlah taktik licik untuk membuka jalan itu.
Rencana licik dijalankan ketika Prabu Trenggono sedang berkemah di wilayah Prawata. Mas Karebet dengan bantuan Ki Buyut Banyubiru yang merupakan saudara seperguruan ayahnya, membuat seekor kerbau menjadi gila. Kerbau yang disebut sebagai Kerbau Ndanu itu kemudian dilepas dan mengamuk di area perkemahan sang raja. Semua tungang langgang tak mampu menangkap apalagi menaklukkan kerbau gila tersebut.
Joko Tingkir kemudian menampakkan diri. Trenggono yang mengakui bahwa pemuda ini memiliki kemampuan tinggi segera menyuruhnya menghentikan amukan kerbau ndanu dengan janji jika bisa melakukan maka akan diampuni kesalahannya dan akan dikembalikan sebagai prajurit wiratamtama. Akal liciknya berjalan mulus. Kerbau berhasil ditaklukkan dan dia kembali ke lingkaran istana. Menikahi putrinya dan dijadikan Bupati Pajang dengan gelar Hadiwijaya.
Sepeninggal Trenggono, konflik tahta terjadi. Hadiwijaya yang bisa mengalahkan Bupati Jipang Arya Penangsang, cucu Trenggono, akhirnya diangkat menjadi Sultan dan memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang.
Tetapi pembunuh Penangsang bukanlah Hadiwijaya tetapi Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan yang juga sahabat Hadiwijaya. Sutawijaya juga telah diangkat sebagai putra oleh Hadiwijaya. Saat itu Hadiwijaya menggelar sayembara siapa yang bisa membunuh Penangsang, maka akan mendapatkan hadiah tanah perdikan.
Lagi-lagi akal licik muncul. Di depan Hadiwijaya bukan Sutawijaya yang disebut sebagai pembunuh Penangsang, tetapi ayahnya Ki Ageng Pemanahan dan sahabatnya Ki Penjawi. Alasannya jika disebut pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, maka hadiah bisa saja tidak turun karena dia adalah anak angkat Hadiwijaya. Akal licik menang lagi. Ki Penjawi mendapat tanah Pati dan Pemanahan mendapat hadiah Alas Mentaok. Di tempat inilah Sutawijaya kemudian mendirikan Mataram Islam dan menjadi raja pertama dengan gelar Senapati Ing Ngalaga dan kemudian memberontak pada Pajang atau ayah angkatnya sendiri.
Jika dirunut kembali ke awal, jika Mas Karebet bener-benar dihukum maka sejarah mungkin akan berbeda. Dia tidak akan jadi Sultan Pajang dan Pemanahan tidak akan mendapat Alas Mentaok yang pada akhirnya Sutawijaya tidak akan bisa mendirikan Mataram Islam. Tetapi karena ada kerbau gila, maka jadilah sejarah itu seperti sekarang.
Sumber: Serat Sri Nata Babad Tanah Jawi terjemahan Anton Suparnjo Dipomenggolo