Suatu hari pada tahun 1512, Pati Unus tidak bisa menahan amarahnya ketika mendengar Kerajaan Samudera Pasai telah jatuh ke Portugis. Bergegas dia menghadap Raden Patah, raja Demak yang juga mertuanya. Dalam kapasitasnya sebagai Panglima Armada Islam di tanah Jawa, Pati Unus minta izin untuk mengirim pasukan guna menyerang Portugis.
Raden Patah yang juga disebut sebagai Sultan Demak I merestui permintaan itu. Segera Pati Unus membangun kekuatan yang tidak terlalu besar. Setahun kemudian pasukan itu bergerak ke Malaka, tetapi misi untuk menggempur benteng Portugis gagal. Pasukan putar balik pulang ke Demak.
Tetapi Pati Unus yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, tidak menyerah. Serangan gagal pertama memberi dia pengalaman tentang bagaimana melakukan operasi amfibi dan pendaratan pasukan laut ke darat. Dia segera menyusun rencana dengan lebih sabar.
Pembangunan armada laut dilakukan besar-besaran dengan membuat 375 kapal perang. Secara khusus kapal dipesan di masyarakat Bugis Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Butuh waktu hampir satu dekade untuk mempersiapkan kekuatan ini hingga Pati Unus kembali mengirimkan pasukan ke Malaka pada 1521. Sebuah misi yang bisa jadi adalah operasi amfibi dan serangan darat terbesar dalam sejarah nusantara.
Siapa sebenarnya Pati Unus? Sejenak mari kita telusuri garis keturunannya. Berdasarkan nasab keturunan Sultan-Sultan Demak disebutkan Pati Unus bernama asli Raden Abdul Qadir . Dia adalah putra Raden Muhammad Yunus, seorang ulama dari Persia yang datang ke Jawa sekitar tahun 1400 dalam rangka misi dakwah dan tinggal dari Jepara. Catatan Sayyid Bahruddin Ba’alawi tentang Asryaf di Tanah Persia yang di tulis pada 9 September 1979, Raden Muhammad Yunus adalah generasi ke-19 keturunan cucu Nabi Muhammad Hasan bin Fathimah binti Nabi Muhammad.
Sementara ibu Pati Unus adalah seorang putri ulama asal Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang mengirim putra-putranya untuk melakukan penyebaran Islam. Salah satu putranya Syekh Ibrahim Akbar menjadi pelopor penyebaran Islam di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja), dan satu lagi dikirim ke tanah Jawa yang kemudian disebut sebagai Raden Rahmat atau lebih terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan Sunan Ampel dari ibu yang berbeda asal Campa ikut dibawa ke Pulau Jawa dan kemudian dinikahkan dengan Raja Brawijaya sebagai langkah awal meng-Islam-kan Jawa. Putra dari pernikahan Brawijaya dengan adik Sunan Ampel inilah yang melahirkan Sultan Alam Akbar Al-Fattah atau yang dikenal Raden Patah, pendiri Demak.
Sementara pernikahan Syekh Khaliqul Idrus dengan putri ulama Gujarat melahirkan seorang putra bernama Raden Muhammad Yunus yang kemudian menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dan melahirkan Abdul Qadir yang kemudian dikenal sebagai Pati Unus.
Abdul Qadir kemudian dijadikan menantu Raden Patah dan menjadi Adipati di Jepara. Dia lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Muhammad Yunus. Lidah jawa kemudian lebih mudah dengan menyebut sebagai Pati Unus.
Pada tahun 1518 atau lima tahun setelah ekspedisi ke Malaka pertama gagal, Raden Patah wafat dan sebelum itu dia memilih Pati Unus sebagai penerusnya. Tidak ada catatan sejarah yang menyebut adanya konflik dalam pengangkatan ini meski dia hanyalah sebagai menantu.
Setelah menjadi Sultan Demak, niatnya untuk kembali menggempur Portugis tidak padam. Pada tahun 1521, persiapan selesai dan serangan yang disebut sebagai misi Jihad itupun dimulai. Pati Unus yang baru tiga tahun menduduki tahta memimpin langsung pasukan. Tiga anak laki-lakinya juga diajak ke medan perang.
Tetapi sejarah mencatat, bahkan hingga teknologi perang sudah sangat canggih, operasi penurunan pasukan ke darat dari kapal bukan perkara gampang. Ratusan kapal Demak diadang gempuran meriam oleh pasukan Portugis yang ada di pesisir yang sekarang dikenal sebagai anti access. Tetapi Pati Unus telah menyiapkan strategi dengan menurunkan pasukan jauh dari pantai dan mengirim ke darat dengan kapal-kapal kecil. Ini mirip strategi sekutu dalam D-Day ketika memulai serangan ke Jerman.

Sayang, kapal yang dia tumpangi dihantam meriam membuat dia gugur hingga komando diambil alih Raden Hidayat. Ribuan pasukan yang lain berhasil mencapai darat dan terlibat dalam pertempuran sengit selama tiga hari tiga malam. Korban besar berjatuhan di kedua pihak. Tetapi Raden Hidayat juga kemudian gugur membuat mental pasukan mulai turun. Pasukan gabungan yang kini di bawah komando Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) memutuskan mundur dan membawa sisa Armada Gabungan ke Pulau Jawa .
Fadhlullah Khan inilah yang kemudian dikenal sebagai Falathehan alias Fatahillah yang oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati diangkat sebagai Panglima Armada Gabungan baru menggantikan Pati Unus. Kelak Falatehan berhasil membalas kekalahan ketika mengusir Portugis dari Sunda Kelapa atau Batavia.
Putra pertama dan ketiga Pati Unus yang ikut bertempur juga gugur, sedangkan putra kedua Raden Abdullah selamat untuk meneruskan keturunan Pati Unus. Tetapi ketika sisa-sisa armada mendarat di Banten, Raden Abdullah diajak untuk turun dan tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat armada sangat khawatir kalau Raden Abdullah kemali ke Demak akan menjadi korban konflik perebutan kekuasaan. Raden Abdullah adalah salah satu keturunan Nabi yang harus dilindungi.
Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527.
Fadhlullah Khan kemudian menjadi menantu Sunan Gunung Jati setelah dinikahkan dengan putrinya yang juga janda dari Pangeran Sabrang Lor. Raden Abdullah kemudian dinikahkan dengan Fatimah, Putri Sultan Banten Mawlana Hasanuddin. Sosok yang banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten ini banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf yang juga adik iparnya sebagai penasihat resmi Kesultanan.
Kekalahan Pati Unus di Malaka inilah yang mengubah sejarah Jawa, termasuk tentunya Indonesia saat ini. Kekalahan itu membuat Demak mulai melupakan ekspansi internasionalnya. Sultan Trenggono, adik Pati Unus, yang naik menjadi raja Demak, lebih berorientasi ke dalam negeri, walaupun kebenciannya terhadap Portugis tetap tinggi. Ratu Kalinyamat, salah satu putri Trenggono juga dikenal sebagia panglima perang yang memimpin pasukan melawan Portugis.