Pada 1980-an, Jepang secara bertahap mulai menerima jet tempur yang dibangun di dalam negeri yang dikenal sebagai Mitsubishi F-1. Tokyo kemudian ingin menindaklanjuti dengan membangun jet tempur generasi keempat F-2 . Sebuah upaya ambisius dan nyaris dihancurkan tsunami.
Pentagon era Reagan khawatir bahwa jet yang dirancang Jepang akan memiliki kemampuan dan kompatibilitas dengan pasukan Amerika hingga dan mendorong Jepang untuk membangun desain milik Amerika. Tetapi perusahaan di Amerika Serikat takut mentransfer terlalu banyak teknologi akan tidak menguntungkan bagi mereka.
Pada akhirnya, setelah terungkap sebuah perusahaan Jepang mentransfer teknologi baling-baling yang digunakan dalam kapal selam kelas Akula-Soviet, Tokyo dibujuk membangun versi mereka sendiri dari F-16 Fighting Falcon, sebuah jet tempur taktis ringan yang terjangkau. Pesawat diharapkan dibangun Mitsubishi dan Kawasaki Heavy Industries
Namun, Lockheed Martin dan perusahaan Amerika lainnya masih akan membangun 40 persen komponen. Sebuah prototipe XF-2A pertama terbang pada tahun 1995, dan pesawat pertama masuk operasional pada tahun 2000.
Pasukan Bela Diri Jepang menginginkan Falcon mereka disesuaikan dengan perangkat keras domestiknya dan situasi strategis lokal sebagai sebuah negara kepulauan. F-16 dapat mencapai dua kali kecepatan suara dan terkenal karena kemampuan manuvernya yang baik, tetapi ia memiliki jangkauan yang terbatas.
Jepang tidak harus mempertahankan perbatasan darat terdekat atau bersiap untuk perang luar negeri. Diperlukan jet yang bisa berpatroli di lautan luas yang mengelilingi Jepang dan jika perlu menyerang musuh yang mendekat dari udara dan air.
Oleh karena itu, Mitsubishi F-2 memiliki tangki bahan bakar yang diperbesar untuk patroli jarak jauh, sehingga meningkatkan radius tempurnya hingga 50 hingga 520 mil. Dibandingkan dengan F-16C, F-2 lebih panjang setengah meter, memiliki potongan dan ekor yang lebih besar, kanopi tiga bagian, dan permukaan sayap yang 25 persen lebih besar untuk memungkinkan kemampuan manuver yang lebih besar dan tambahan cantelan senjata.
Untuk mengimbangi penambahan berat, material komposit ringan digabungkan, termasuk epoxy grafit penyerap radar yang mengurangi tanda radar F-2.
Hidung F-2 yang agak pipih menjadi rudal radar Active Electronically Scanned Array J/APG-1. Radar ini bisa mendeteksi jet tempur ukuran rata-rata dari 145 mil jauhnya dan kapal dari 100 mil.
Meskipun radar AESA telah menjadi standar dalam pesawat tempur mutakhir, F-16 Amerika justru belakangan menggunakan radar AESA dengan memasang APG-83 di moncong mereka.
F-2 dapat membawa muatan lebih berat dengan menggunakan 13 stasiun senjata, meskipun beban standar biasanya adlaah satu atau dua tangki bahan bakar ekstra, dua hingga empat rudal jarak pendek dan empat rudal kapal anti-kapal atau rudal udara ke udara jarak jauh.
Selain meriam 20-milimeter dan standar ASIM-9L Sidewinder dan rudal Sparrow, bom dan roket, F-2 dapat menggunakan amunisi Jepang yang unik. Untuk peran anti-kapal, F-2 dapat membawa rudal anti-kapal ASM-1 Tipe 80 dan ASM-2 Type 93, yang dapat menyerang kapal dari jarak 31 dan 105 mil.
Terhadap ancaman udara yang jauh, F-2 dapat menggunakan rudal AAM-4 dipandu radar untuk menyerang pesawat hingga 75 mil jauhnya dan AAM-5 yang dipandu inframerah untuk jangkauan ‘pendek’ hingga sejauh 22 mil. Yang terakhir menggunakan motor vector-thrust untuk menambah kemampuan manuver.
Pada dasarnya Jepang membangun F-16 yang paling canggih pada 1990-an tetapi juga jauh lebih mahal. Harga satu uni sekitar US$ 127 juta atau sekitar Rp1,9 triliun yang berarti empat kali lebih mahal dibandingkan F-16 biasa. Bahkan akhirnya pesawat ini lebih mahal dibandingkan F-15J Eagle Jepang yang lebih memiliki kemampuan dalam membawa persenjataan dan jangkauan serta kecepatan.
Mau tidak mau Jepang akhirnya memangkas pesanan dari semula 141 pesawat hanya menjadi 98 yang terdiri dari 62 F-2A kursi tunggal, dan 32 F-2B dua kursi dan empat prototipe. Hanya satu F-2 yang pernah hilang dalam kecelakaan penerbangan, ketika F-2B terbakar pada 31 Oktober 2007.
F-2 saat ini terbang dalam empat skuadron – Skuadron Tempur Taktis ke-3 di Pangkalan Udara Misawa di Honshu utara, skuadron ke-6 dan 8 di Pangkalan Udara Tsuiki di pulau barat daya Kyushu, dan skuadron Pelatihan ke-21 yang berbasis di Matsushima.
Jet tempur ini dijuluki “Viper Zeroes” yang merupakan kombinasi dari sebutan F-16 Amerika dengan pesawat tempur Mitsubishi N6M milik Jepang yang terkenal dari Perang Dunia II.
F-2 beberapa kali menjalani peran pertahanan udara. Pada 7 Februari 2013, dua Su-27 Flanker Rusia diduga melesat ke ruang udara dekat Jepang di dekat Hokkaido. Empat F-2 bergegas untuk mencegat Flanker – dan mengambil foto dari pertemuan itu.
Enam bulan kemudian, F-2 mencegat dua pesawat patroli maritim Tu-142 Bear yang mengganggu ruang udara di dekat pulau Kyushu. Pada tahun 2017, mereka berhadapan dengan dua pembom Tu-95MS lainnya yang dikawal oleh dua Su-35S yang melakukan flyby di pantai Jepang.
Namun, musuh terbesar F-2 akan terbukti adalah kekuatan alam. Pada 11 Maret 2011, gempa terkuat yang pernah tercatat oleh Jepang mengguncang laut 40 mil timur dari prefektur Tohoku di timur laut pulau Honshu, memunculkan gelombang tsunami raksasa setinggi 40 meter yang menyapu berbapa mil hingga daratan. Tsunami menyebabkan kebocoran nuklir di Fukushima dan menewaskan hampir 16.000 orang.
Tsunami juga membanjiri 18 F-2B dari Skuadron Pelatihan 21 di Matsushima dengan air garam korosif. Salah satu F-2 bahkan terlempar ke sebuah gedung. Dalam satu gerakan, Jepang telah kehilangan seperlima dari kekuatan F-2-nya.
Jalur produksi F-2 ditutup tahun itu, dan efek dari resesi global membuat untuk membuka kembali jalur produksi menjadi tidak terjangkau. Setelah survei awal, enam dari F-2B dianggap hanya rusak sedang dan diperbaiki dengan biaya sekitar US $ 724 juta atau sekitar Rp10 triliun.
Suku cadang digunakan untuk mengembalikan tujuh lainnya seharga US$ 66 juta atau sekitar Rp963 jutaper pesawat, dengan perbaikan selesai pada Februari 2018. Untuk satu periode, pilot Jepang harus berlatih pada F-16, tetapi Skuadron ke-21 akhirnya diaktifkan kembali pada tahun 2016 dengan 10 F-2B.
F-2 harus tetap beroperasi setidaknya hingga 2030 dan telah menerima sejumlah peningkatan, terutama radar AESA J / APG-2 yang dirancang untuk bekerja dengan rudal AAM-4B baru dengan pencari AESA internal dan meningkatkan jangkauan 75 mil.