Tribuwana Tunggadewi, Ketika Tahta Tak Membuat Silau, Negara Menjadi Hebat
Patung yang diperkirakan menggambarkan Tribuwana Tunggadewi

Tribuwana Tunggadewi, Ketika Tahta Tak Membuat Silau, Negara Menjadi Hebat

Ketika Jayanegara tewas ditusuk oleh Ra Tanca, tabib yang hendak mengobati bisul sang raja pada tahun 1328, Majapahit segera masuk dalam kondisi yang pelik dan berbahaya terkait siapa yang harus naik tahta menggantikannya.

Jayanegara tidak memiliki anak laki-laki yang berhak meneruskan kekuasaan. Dia juga tidak memiliki saudara laki-laki. Dari lima istri Raden Wijaya, hanya Jayanegara-lah satu-satunya anak laki-laki. Gayatri, satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup dianggap yang paling layak untuk memimpin Majapahit menjadi raja ketiga.

Namun Gayatri tidak mau menerima mandat itu. Dia sudah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi bhiksu. Tidak ada pilihan lain maka ada dua nama yang harus dipilih salah satu. Mereka adalah Tribuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat. Dua putrid Raden Wijaya  yang juga adik Jayanegara.

Semasa hidupnya, Jayanegara melarang dua adiknya ini untuk menikah karena ketakutan suami mereka akan merebut kekuasaan. Bahkan Jayanegara nekad hendak mempersunting adik-adiknya itu menjadi istri. Langkah yang ditentang keras oleh Gayatri.

Sebagai yang lebih tua, Tribuwana Tunggadewi kemudian yang ditunjuk menggantikan Jayanegara. Awalnya dia menolak karena menurutnya yang paling berhak adalah ibunya Gayatri. Dia baru mau menerima setelah mendapat perintah langsung dari Ibunya.

Dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya yang ditulis Slamet Muljana disebutkan Tribhuwana Tunggadewi memiliki nama asli Dyah Gitarja.  Karena polemik yang cukup rumit baru beberapa bulan kemudian dia dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani . Bahkan pelantikan Tribuwana terjadi pada tahun 1329 atau satu tahuns setelah Jayanegara mangkat.

Jadilah Tribuwana Tunggadewi sebagai penguasan ketiga Majapahit. Melalui sebuah sayembara akhirnya dia mendapatkan suami Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, darah biru keturunan raja Singhasari. Melalui sayembara yang sama adiknya Dyah Wiyat disunting pangeran Kudamerta. Perkawinannya dengan Cakradhara inilah yang akhirnya melahirkan Hayam Wuruk .

Sejumlah catatan dan prasasti menyebut Tribuwana bukan sebagai ‘ratu’ tetapi sebagai ‘raja putri’. Hal ini diperkirakan karena sebutan ‘ratu’ telah digunakan untuk istri raja.

Tribuwana naik tahta dalam kondisi Majapahit tidak sepenuhnya stabil. Hal ini dikarenakan era pemerintahan Jayanegara yakni pada tahun 1309-1328 berbagai pemberontakan muncul. Kebanyakan pemberontakan karena ketidakpuasan terhadap sikap Jayanegara yang dinilai sewenang-wenang.

Tribuawana juga membawa beban karena banyak pihak meragukan apakah dia memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memegang kekuasaan. Hal itu sepertinya juga disadari oleh Tribuwana. Strategi yang diambil untuk menutup kelemahan inipun cukup jitu. Dia mengangkat Gadjah Mada yang sebelumnya menjadi patih di Daha, kerajaan di bawah Majapahit, menjadi mahapatih Majapahit.

Butuh waktu beberapa tahun bagi Tribuwana untuk mengambil keputusan ini. Gadjah Mada baru dilantik untuk menduduki posisi penting ini pada tahun 1334 atau hampir lima tahun setelah dia bertahta. Pada saat pengangkatan inilah Gajah Mada mengucapkan sumpah paling terkenal yang disebut Sumpah Palapa. Dia berjanji tidak akan makan buah kelapa sebelum bisa mempersatukan nusantara di bawha Majapahit. Kelapa atau palapa, disebut sebagai simbol kenikmatan dunia.

Namun belum sampai Gadjah Mada mewujudkan sumpahnya. Negarakertagama memberitakan  Tribuwana memilih turun tahta pada 1350. Namun catatan lain dia turun tahta pada 1351  Alasan utama dia turun dari kekuasaan karena Gayatri meninggal dunia sementara dia meyakini bahwa dia duduk di singgasana hanya mewakili sang ibu. Begitu yang diwakilinya meninggal maka hak itupun menurutnya juga hilang.

Diangkatlah Hayam Wuruk yang masih muda menjadi raja. Tribuwana tetap mendampingi sebagai penasihat dan tentu saja Gadjah Mada memegang peran penting untuk membuat pemerintahan Hayam Wuruk stabil. Pada masa Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak keemasan. Gadjah Mada berhasil membangun kekuatan militernya, termasuk  angkatan laut yang sangat ditakuti untuk menaklukkan seluruh wilayah Nusantara.

Tidak ada angka tahun pasti kapan Tribuwana meninggal dunia. Kitab Pararaton hanya menyebutkan dia meninggal setelah pelantikan Gajah Enggon sebagai patih menggantikan Gadjah Mada pada 1371. Jika benar maka Tribuwana justru meninggal setelah Gadjah Mada.

Pararaton juga menyebutkan abu Tribuwana disemayamkan di Candi Pantrapura di Desa Panggih sedangkan suaminya meninggal pada 1386 dan abunya disemayamkan di Candi Sarwa Jayapura di desa Japan.

Yang pasti, Tribuwana Tunggadewi menjadi satu dari sedikit sosok yang mendapatkan kekuasaan dengan cara damai bahkan harus setengah dipaksa. Dia pun rela melepas kekuasaan itu. Sebuah sikap langka karena sejarah mencatat banyak sekali pergantian raja nusantara yang diwarnai pertumpahan darah dan saling intrik.

Banyak catatan menyebutkan Tribuwana adalah raja yang mampu meletakkan dasar-dasar pemerintahan penting bagi Majapahit yang kemudian menjadikan Hayam Wuruk bisa membangun menjadi kerajaan besar. Kesukesan Tribuwana ini bisa dilakukan karena dia sendiri memang tidak memiliki ambisi atas kekuasaan.

Anda sekarang pemimpin negeri ini mau belajar pada keikhlasan Tribuwana Tunggadewi