Operasi Kilat Amangkurat I, 30 Menit 6.000 Ulama Dibantai

Operasi Kilat Amangkurat I, 30 Menit 6.000 Ulama Dibantai

Panembahan Giri sejenak terdiam. Dipandangnya utusan Trunojoyo, Bupati Madura yang mengajak Surabaya untuk bergabung memberontak kepada Mataram Islam. Namun tak lama kemudian keturunan Sunan Giri tersebut langsung mengiyakan ajakan tersebut.

“Ini kesempatan untuk membalas sakit hati yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu,” batin Panembahan Giri. Segera dia memerintahkan panglima perangnya untuk menyusun kekuatan dan bergabung dengan kekuatan Trunojoyo untuk menggempur Mataram yang dikuasai oleh Raja Amangkurat I, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Peristiwa itu terjadi pada sekitar tahun 1670. Panembahan Giri sebenarnya tidak ada masalah dengan Mataram, tetapi dia memendam marah pada Amangkurat I karena tindakan sewenang-wenangnya yang membantai tidak kurang 6000 ulama.

Amangkurat I memang dikenal sebagai raja yang kejam, dan pembantaian ribuan ulama itu menjadi salah satu catatan paling kelam dalam sejarah Mataram Islam. Sebuah operasi kilat yang hanya berlangsung 30 menit saja.

Amangkurat I baru dua tahun menduduki istana setelah menggantikan ayahnya Sultan Agung yang mangkat pada 1645.  Seperti banyak penguasa kejam, biasanya dia diliputi rasa penuh curiga dan akan menekan siapa saja yang memiliki tanda-tanda membangkang.

Dalam buku berjudul State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968) yang ditulis Soemarsaid Moertono disebutkan Amangkurat I adalah raja yang “istimewa lalimnya” tetapi juga sangat paranoid. Dia selalu di bawah penjagaan ketat pasukan khusus itupun dia masih merasa belum aman.

Sejarawan Merle C. Ricklefs menggambarkan hal yang mirip tentang Amangkurat I. Dalam bukunya berjudul War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993)  disebutkan Amangkurat I sangat berbeda sifat dengan Sultan Agung,. “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai,” tulisnya.

Hingga terjadilah ontran-ontran mengerikan ketika Amangkurat I membunuh Pangeran Alit adiknya sendiri yang mencoba melakukan kudeta karena tidak lagi sabar melihat kelaliman kakaknya. Kudeta berhasil digagalkan dan Pangeran Alit dibunuh.

Tetapi kisah tidak berhenti di situ. Amangkurat I melihat Pangeran Alit didukung oleh para ulama. Maka kelompok inipun harus dibasmi. Dipanggilah empat orang yang menjadi kepercayaannya. Mereka adalah Pangeran Aria,  Tumenggung Suranata, Tumenggung Nataairnawa dan Ngabehi Wirapatra. Dia memerintahkan empat orang ini untuk memimpin operasi intelijen cepat guna membunuh para ulama dan keluarganya.

“Jangan ada seorang pun dari pemuka-pemuka agama yang ada di wilayah Mataram luput dari pembunuhan,” kata raja dikutip oleh buku De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961) yang ditulis H.J. de Graaf dan dikutip Tirto.id.

Tugas segera dilaksanakan. Agar bisa berjalan cepat, langkah pertama yang dilakukan adalah mendata semua ulama yang ada. Setelah data terkumpul, maka waktu operasi inipun ditentukan. Pasukan akan bergerak serentak dengan cepat setelah tanda dibunyikan yakni letusan meriam Ki Sapujagat milik Kraton.

Ketika meriam itu menggelegar pasukan yang sudah bersiap segera bergerak. Ribuan ulama dan keluarganya dibantai dalam waktu yang sangat singkat. H.J. de Graaf mengutip catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram menyebut operasi berjalan hanya sekitar 30 menit saja.

Amangkurat I kemudian mengatakan bahwa para ulama tersebut dibunuh karena mendukung Pangeran Alit. Tetapi dia mengelak tanggungjawab bahwa semua itu berdasarkan perintahnya. Sejumlah pejabat dituduh sebagai dalang pembantaian dan akhirnya dibunuh.

Sejarah kelam ini hampir tidak tercatat dalam sejarah yang ditulis secara lokal. Satu-satunya sumber adalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).

Kekejaman inilah yang kemudian mendorong banyak penguasa daerah, termasuk Panembahan Giri untuk ikut bergabung dengan Trunojoyo memberontak Mataram. Bukan masalah kekuasaan, dia melakukan karena ingin membalas sakit hati atas kekejaman tersebut.

Sekitar 25 tahun setelah pembantaian tersebut, Amangkurat I menerima pembalasan. Pemberontakan Trunojoyo memaksa Amangkurat I pada tahun 1677 mengungsi dan akhirnya meninggal dan dikubur di Tegal Jawa Tengah. Kekuasaanya dilanjutkan oleh Amangkurat II yang dengan bantuan VOC berhasil mengalahkan Trunojoyo dan memindah pusat kerajaan Mataram Islam dari Yogyarkarta ke Kartasura.

Lebih lengkap tentang sejarah Mataram Islam silahkan baca:

Cinta Terlarang Menjadi Awal Mataram Tunduk di Bawah Belanda