Menggunakan kekuatan kelompok atau tokoh agama untuk meraih dan membangun kekuasaan bukanlah cerita baru. Sejak zaman kerajaan nusantara, banyak terjadi seorang raja memanfaatkan kelompok ini untuk meraih kepercayaan rakyat dan membangun legitimasinya. Bahkan Ken Arok, tokoh besar yang kemudian melahirkan kerajaan Singhasari pun memanfaatkan kaum Brahmana. Akhirnya, Ken Arok yang awalnya adalah seorang perampok dan begal yang sangat ditakuti, menjadi pemimpin besar yang dipercaya menurunkan raja-raja jawa setelahnya.
Kisah berawal dari situasi kerajaan Kediri yang dipimpin Sri Maharaja Kertajaya. Tokoh yang kemudian menjadi raja terakhir Kediri atau yang juga disebut sebagai Panjalu ini sekitar tahun 1194-1222.
Kerajaan yang beibukota di Daha atau Dahanapura dan terletak di tepi Sungai Brantas ini dikenal sebagai kerajaan besar. Salah satu raja paling terkenal Jayabaya yang sampai saat ini ramalannya atau yang dikenal sebagai Jayabaya masih kerap disebut-sebut oleh banyak orang. Wilayah Kediri meliputi Madiun dan daerah bagian barat Kerajaan Medang Kamulan.
Bukti sejarah bahwa Kertajaya yang merupakan raja terakhir Kediri ada pada ditemukannya Prasasti Galunggung yang berangka tahun 1194, Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205).
Di semua prasasti terebut diketahui nama gelar Abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Kitab Negarakertagama yang ditulis Empu Prapanja sekitar 1365 atau masa Majapahit juga menyebut kisah Kertajaya. Pun demikian Kitab Pararaton.
Catatan menyebutkan Kertajaya sebagai raja yang sangat kuat dan sakti, tetapi bersikap keterlaluan. Dia mengganggap dirinya sebagai dewa dan mewajibkan semua tokoh agama Hindu dan Budha untuk menyembahnya. Jika tidak, maka mereka akan dibunuh.
Menghadapi sikap sang raja, para Brahmana memilih untuk menyingkir dari kerajaan sembari terus menyebarkan informasi kepada masyarakat bahwa sikap Kertajaya adalah salah.
Jauh dari Kediri, gejolak politik terjadi di Tumapel. Sebuah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Kediri. Ken Arok, yang bekas begal dan akhirnya mengabdi menjadi prajurit membunuh Tunggu Ametung serta merebut Ken Dedes. Dia selanjutnya mendeklarasikan dirinya sebagai penguasan Tumapel.
Apa yang terjadi di pusat kekuatan Kediri ditangkap sebagai peluang oleh Ken Arok. Para tokoh agama yang disingkirkan bisa dimanfaatkan untuk membangun kekuatan dan legitimasinya. Melalui sebuah lobi dan komunikasi intensif, akhirnya para brahmana mendukung Ken Arok untuk tampil merebut kekuasaan Kediri. Ken Arok berjanji akan memperlakukan para brahmana dengan baik jika dia nantinya menduduki tampuk pimpinan kerajaan tersebut.
Dalam situasi yang tertekan, tawaran Ken Arok jelas memberikan harapan kepada para brahmana. Bahkan eks penjahat kelas kakap itupun mendapat julukan Batara Guru oleh para brahmana. Para brahmana juga menggalang kekuatan rakyat untuk bergabung dengan Ken Arok.
Kabar itu sampai ke telinga Kertajaya yang langsung menyatakan Tumapel memberontak dan mengirimkan pasukan untuk menumpasnya. Tetapi dengan dukungan rakyat yang berhasil dipengaruhi tokoh agama, serangan demi serangan Kediri berhasil dipatahkan.
Bahkan keseimbangan medan perang berubah. Pasukan Tumapel berbalik menggempur Kediri dan di tangah Ken Arok, catatan yang ada menyebutkan, Kertajaya akhirnya tewas. Berakhir sudah sejarah Kerajaan Kediri.
Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari dan menurunkan Kediri menjadi kabupaten di bawah kekuasaannya. Ken Arok mencoba meredam dendam Kediri dengan mengangkat Jayasbaha yang merupakan anak Kertajaya sebagai sebagai penguasa wilayah tersebut.
Namun pada akhirnya strategi ini menjadi bumerang. Pada tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Setelah dia meninggal, pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang.
Tokoh inilah yang membalas dendam kematian leluhurnya dengan memberontak dan membunuh Kartanegara, Raja Singhasari. Namun Jayakatwang tidak berkuasa lama karena diserang pasukan Mongol yang didukung Raden Wijaya. Sejarah kemudian mencatat Raden Wijaya dengan strategi jitu balik menyerang pasukan Mongol hingga mundur keluar Jawa dan lahirlah Kerajaan Majapahit.