Gonjang-Ganjing Cawapres dan Pemberontakan Ranggalawe
Ilustrasi wajah Ranggalawe / Idsejarah.net

Gonjang-Ganjing Cawapres dan Pemberontakan Ranggalawe

Dalam beberapa hari terakhir, peta politik Indonesia diwarnai dengan hiruk-pikuk pemilihan siapa yang akan menjadi calon wakil presiden. Baik  kubu Joko Widodo maupun Prabowo akhirnya membuat kejutan dan bahkan mengguncang dan dramatis. Ada yang sudah diminta ukur baju, akhirnya tidak terpilih. Ada juga isu jenderal kardus. Semua keributan ini untuk mencari siapa yang akan menjadi orang kedua di republik  ini. Hal itu mengingatkan sejarah kelam Majapahit di era Raden Wijaya.

Suasana bale paseban Kraton Majapahit tegang. Raden Wijaya, Raja Majapahit yang kini bergelar Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana tampak berusaha menekan emosinya dalam-dalam. Di hadapannya sejumlah tokoh penting dan berjasa pada Majapahit sedang berkumpul.

Dalam pertemuan itu hadir Patih Nambi, Lembu Sora dan Ranggalawe. Penguasa Tuban ini secara khusus datang ke Majapahit untuk bertemu dengan Raden Wijaya. Dalam pertemuan itu juga datang Kebo Anabrang atau Mahesa Anabarang, panglima perang era Singhasari yang sukses memimpin Ekspedisi Pamalayu.

Pertemuan ini menjadi puncak kecemasan Raden Wijaya yang sebelumnya dilanda kebingungan untuk memilih siapa yang layak menjadi Mahapatih Majapahit. Ada sejumlah kandidat yang dia nilai layak untuk menduduki posisi ini.

Salah satunya adalah Lembu Sora. Sosok yang sejak awal menjadi pendukung utama Raden Wijaya dan memiliki besar dalam perjuangan pendirian kerajaan Majapahit. Lembu Sora dikenal sangat gigih di medan perang dan berhasil membunuh Patih Kediri yang bernama Kebo mundarang. Keputusan Raden Wijaya mengungsi ke Jawa Timur dan meminta bantuan kepada Bupati Wiraraja juga merupakan hasil dari pemikiran Lembu Sora.  Menurut Prasasti Sukaremta setelah berhasil mendirikan Majapahit Lembu Sora kemudian diangkat menjadi Patih di Kediri yang merupakan bawahan dari Majapahit.

Sosok lain adalah Ranggalawe. Putra Bupati Madura, Arya Wiraraja ini sudah terbukti perannya dalam membangun Majapahit. Dia ikut membuka hutan, menyediakan kuda perang dan menyabung nyawa di medan pertempuran. Selanjutnya dia kemudian diangkat menjadi penguasa Tuban. Ranggalawe dikenal sebagai seseorang yang ahli siasat, pemberani,  juga merupakan orang yang terampil. Namun juga memiliki karakter temperamen tinggi.

Kebo Anabrang, panglima perang dan tokoh senior sejak era Raja Singhasari Jayanegara juga layak dipertimbangkan. Setidaknya keseniorannya akan mampu meredam gejolak dari para pendukung Singhasari untuk tetap tunduk pada Majapahit.

Tetapi secara mengejutkan Raden Wijaya justru memilih Nambi. Siapakah Nambi? Beberapa sumber menyebutkan secara berbeda. Dalam kitab Pararaton Nambi disebut sebagai anak Wiraraja yang berarti dia saudara dari Ranggalawe. Tetapi menurut Kidung Sorandaka dan Kidung Panji Wijayakrama serta Kidung Harsan, Nambi adalah anak Pranaraja. Bukan anak dari Wiraraja. Keterangan ini yang lebih banyak diakui kebenarannya.

Dalam beberapa pertempuran peranan Nambi tidaklah begitu besar. Dalam Kidung Sorandaka Nambi diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Dan inilah yang memunculkan ketegangan tinggi.

Dalam buku, Menuju Puncak Kemegahan yang ditulis Slamet Muljana disebutkan Ranggalawe secara terbuka menyatakan keberatannya atas pengangkatan Nambi sebagai Mahapatih. Menurutnya, Lembu Sora yang paling pantas. Atau jika tidak Lembu Sora maka dia lebih layak dibanding Nambi.

“Jika Lembu Sora dipandang tidak memenuhi syarat tentunya hamba yang harus dipertimbangkan. Bukan Nambi. Mengapa justru Nambi yang paduka angkat? Negara tidak akan baik karenanya. Tanpa Sora dan hamba Negara akan runtuh,” kata Rangalawe.

Sejumlah pihak, termasuk Lembu Sora berusaha memadamkan amarah Ranggalawe tetapi sia-sia. Penguasa Tuban ini justru semakin keras.

“Hamba memang tidak tidak rela jika Nambi yang memegang pemerintahan. Paduka telah menyaksikan sendiri tandak tanduknya dahulu. Ia sangat mengecewakan, bodoh, lemah, rendah budi, penakut, tanpa perbawa. Pati ia akan merosotkan kedudukan Negara, memudarkan kedudukan paduka.”

Nambi tidak bisa menahan amarahnya. Tetapi Ranggalawe tidak mundur. Bahkan menantang pertarungan satu lawan satu. Untunglah kemudian situasi bisa diredam oleh Lembu Sora yang bisa membujuk Ranggalawe untuk segera pulang ke Tuban.

Kisah lain menyebutkan Kebo Anabrang yang tersinggung dengan sikap Ranggalawe di depan raja berkata “Jika tidak terima, silahkan kembali ke Tuban dan siapkan pasukan untuk perang.”

Akhirnya pemilihan orang kedua di Majapahit berujung pada perang. Ranggalawe secara resmi memberontak. Tahun pemberontakan Ranggalawe memang berbeda-beda. Ada yang menyebut terjadi pada 1295 atau era pemerintahan Raden Wijaya tetapi catatan lain mengatakan pemberontakan terjadi pada 1309 atau era Jayanegara, raja kedua Majapahit. Mengacu pada kronologi kejadian, lebih mungkin pemberontakan terjadi pada 1295.

Raden Wijaya tidak punya pilihan lain kecuali melawan pasukan Ranggalawe. Sebuah pasukan dibangun oleh Patih Nambi dan dipimpin langsung Kebo Anabrang.

Memang ada catatan lain yang mengatakan pemberontakan Ranggalawe tidak sepenuhnya dipicu oleh masalah jabatan. Tetapi karena Tuban dalam beberapa lama tidak menyerahkan upeti ke Majapahit. Rangalawe beralasan tidak mengirim upeti karena Tuban sedang dilanda paceklik.

Berdasarkan Kidung Ranggalawe Pasukan Majapahit mengepung tentara Tuban dari tiga jurusan, dari timur barat dan utara. Masing-masing pasukan di bawah pimpinan Mahisa Anabrang, Gagak Sarkara dan Mayang Sekar.

Pasukan yang menyerang dari jurusan timur, di bawah pimpinan Mahisa Anabrang, segera terlibat dalam pertempuran. Mahisa Anabrang berhadapan dengan Ranggalawe di tepi Sungai Tambak Beras. Dalam pertempuran yang sengit, Ranggalawe akhirnya bisa ditundukkan Anabrang setelah dicekik dan kehabisan napas.

Lembu Sora yang melihat kejadian tersebut merasa iba. Bagaimanapun Ranggalawe adalah teman seperjuangan yang merasakan pahit getirnya membangun Majapahit. Selain itu Ranggalawe masih keponakan dari Lembu Sora.

Lembu Sora pun menusuk Kebo Anabrang hingga tewas. Maka dua tokoh besar itupun meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Kejadian ini yang akhirnya ikut mendorong Lembu Sora akhirnya juga memberontak.

Pemberontakan Lembu Sora tidak lepas dari pengaruh Nambi yang mendesak Raja Majapahit menghukumnya karena telah membunuh Kebo Anabrang. Raden Wijaya menolak untuk menghukum mati Lembu Sora mengingat jasa besarnya pada Majapahit. Dia memutuskan untuk menghukum sahabat lamanya itu dengan dibuang ke Tulembang.

Tetapi Lembu Sora menolak dibuang dan memilih mati di negeri yang dia ikut susah payah membangun dan membesarkannya. Pada suatu waktu Lembu Sora akhirnya bersedia menyerah ke Majapahit dan akan segera menghadap Raja.

Saat Lembu sora menuju kerajaan untuk menghadap Raja, pasukannya diserang oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Nambi. Akibat penyerangan itu Sora dan pengikut-pengikutnya meninggal di halaman istana Majapahit.

Pertempuran berdarah akhirnya membunuh tokoh-tokoh penting di Majapahit yakni Ranggalawe, Lembu Sora dan Kebo Anabrang dan semua berawal dari gonjang-ganjing pemilihan siapa yang harus menjadi orang kedua di Majapahit.