Wajah Raden Rangga Prawiradirja seketika memerah. Namun yang di hadapannya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono II, penguasan tertinggi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam hatinya dia juga sepenuhnya tahu, apa yang disampaikan Sang Raja tidak keluar dari hati nuraninya, tetapi karena keterpaksaan.
“Saya tidak bersedia menyerahkan diri Kanjeng Sultan,” kata Raden Rangga dengan nada berat. “Apapun yang terjadi saya siap menghadapi,” lanjutnya.
Sementara Sri Sultan Hamengku Buwono hanya menarik napas panjang. Bupati Madiun yang menjadi orang kepercayaannya sekaligus putra menantunya itu telah membuat dirinya dalam posisi yang sulit.
Perbincangan tersebut terjadi pada sekitar November 1810. Sebelum itu Hamengkubuwono II bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels yang memberinya perintah sangat berat. Dia diminta menyerahkan Raden Rangga karena dianggap telah melawan pemerintah. Hal itulah yang disampaikan dalam pertemuan tersebut.
Raden Rangga tentu saja menolak. Bahkan dia kemudian memutuskan untuk melawan dengan segala kekuatannya yang ada. Dia pulang ke Madiun untuk memulai perjuangan melawan kekuatan asing yang sangat dia benci karena dianggapnya telah merusak tatanan Jawa.
Raden Rangga Prawiradirja III, menjabat sebagai penguasan Madiun sejak 1795. Dia lahir dari keluarga yang sejak awal memang mendukung penuh keberadaan Kasultanan Ngayogkarta. Buku Babad Giyanti yang ditulis Purwadi menyebutkan, Prawirasentika yang kemudian disebut sebagai Raden Rangga Prawiradirja I dan merupakan eyang dari Raden Rangga Prawiradirja III telah ikut berjuang membantu Pangeran Mangkubumi, pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kemudian dikenal sebagai Hamengkubuwono I.
Dukungan penuh juga diberikan ayahnya Mangundirja atau Raden Rangga Prawiradirja II. Bahkan kelak putranya, Sentot Alibasyah Prawiradirja menjadi salah satu panglima Pangeran Diponegoro. Putri Raden Rangga III, Raden Ayu Maduretna, juga dinikahkan dengan Pangeran Diponegoro.
Kemarahan Daendeles karena Raden Rangga menentang keras pembangunan jalur Anyer-Panarukan yang melintas wilayah milik Raden Rangga. Beberapa kali prajurit Raden Rangga melakukan sabotase termasuk memutus jalur kereta api. Tidak tahan lagi dengan ulah Raden Rangga, Dandeles kemudian menekan Hamengkubuwono II.
Raden Rangga mulai mempersiapkan perang melawan Belanda. Sementara Hamengkubuwono II memilih bersikap mendua. Satu sisi dia tidak bisa melawan Belanda, tetapi secara diam-diam dia mendukung menantunya tersebut. Raja Yogyakarta ini juga melakukan kontak dengan Pakubuwono IV, Raja Kasultanan Surakarta yang juga bersikap sama.
Sebelum perang dimulai Raden Rangga melalui suratnya sekali lagi menegaskan kepada Hamengkubuwono II bahwa dia tidak melawan Mataram. Yang dia lawan adalah Belanda karena telah mencemari tanah Jawa dengan kebiadaban, termasuk ambisi membabat hutan jati milik rakyat serta mempekerjakan paksa penduduk, baik lokal maupun keturunan China.
Perang pertama pecah pada 20 November 1810. Hamengkubuwono II benar-benar dalam posisi sulit. Dia menyadari Belanda sudah mulai curiga dengan sikapnya yang mendua. Dengan berat hati dia akhirnya mengirim 1.000 pasukan untuk membantu Hindia Belanda.
Dengan kekuatan ini, Belanda jelas menjadi lawan berat bagi Raden Rangga. Tetapi dia terus melawan dan bertahan di Pinggir Bengawan Solo daerah Kertosono. Hamengkubuwono II dipaksa lagi mengirim pasukan untuk mengejar Raden Ranggayang dipimpin Pangeran Dipakusuma, cucu Sultan.
Dalam pertempuran sengit yang terjadi 17 Desember 1810 itu, Raden Rangga berhadapan dengan Pangeran Dipakusuma. Dalam buku Babad Mangkubumi yang ditulis Moelyono Sastronaryatmo sebagaimana dikutip tirto.id, sebelum adu tanding, Dipakusuma sempat menanyakan mengapa Raden Rangga menyusahkan Sultan dengan nekat melawan Belanda. Sekali lagi dengan tegas dijawab bahwa dia tidak berniat membuat raja susah tetapi dia akan melawan siapapun yang membuat rakyat Jawa susah.
Itulah hari terakhir Raden Rangga hidup. Dia justru mengakhiri kematian dengan menusukkan tombaknya sendiri ke tubuhnya kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Dipakusuma sebelum menghembuskan napas terakhir. Perang yang berlangsung sekitar dua bulan itupun berakhir.
Jasad Raden Rangga pun dibawa ke Kraton Ngayogyakarta dalam status sebagai pemberontak. Bahkan dengan terpaksa Hamengkubuwono II memerintahkan jasad menantunya itu digantung di alun-alun sebelum kemudian dikuburkan di kompleks pemakaman pemberontak di Banyu Sumurup, dekat Imogiri.
Kisah Raden Rangga masih menjadi ganjalan panjang Kasultanan Ngayogyakarta hingga 150 tahun kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1957 memerintahkan agar makam Raden Rangga dibongkar dan sisa-sisa jasadnya dipindahkan ke tempat yang lebih layak. Raden Rangga Prawiradirja III bahkan kemudian ditetapkan sebagai pejuang perintis kemerdekaan.