Site icon

Pertemuan 2 Tokoh Ini Menjadi Awal Lahirnya Angkatan Udara Indonesia

Urip Sumoharjo (kiri) dan Suryadi Suryadarma

Situasi setelah kemerdekaan banyak persoalan yang harus segera dibereskan oleh Indonesia. Salah satunya adalah membangun kekuatan militernya. Membentuk kekuatan darat mungkin relatif lebih mudah mengingat saat itu sudah terdapat Pembela Tanah Air, Heiho serta berbagai laskar pejuang. Tetapi membangun kekuatan udara jelas perkara yang lebih rumit.

Sekitar satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, atau pada September 1945 Mayor KNIL Urip Sumoharjo secara khusus menemui Letnan R Suryadi Suryadarma, mantan Militaire Luchvaart di Yogyakarta.  Dalam pertemuan itu Urip mengatakan kepada Suryadi Suryadarma perlunya Indonesia segera membangun kekuatan udara.

Itulah pertama kali ide untuk membangun angkatan udara muncul. Suryadarma menyadari hal itu bukan tugas mudah, tetapi bukan hal yang mustahil. Dia setuju dengan usulan Urip Sumoharjo dan akan segera bergerak. Segera setelah itu Suryadarma mengumpulkan beberapa orang yang memiliki pengalaman di bidang penerbangan mereka antara lain Iswahyudi, Halim Perdanakusuma dan A Adisutjipto.

Masalah pembentukan Angkatan Udara kemudian secara resmi dibicarakan pada Konferensi Tentara Keamanan Rakyat pada 12 November 1945 di Yogyakarta. Kemudian pada 12 Desember tahun tersebut, Markas Tertinggi Keamanan Rakyat (MT-TKR) mengeluarkan sebuah pengumuman yang ditandatangani oleh Kepala Staf Umum Letkol Urip Sumoharjo yang menyatakan pembentukan bagian penerbangan  TKR yang dipimpin Suryadarma dan R Sukamen Martokusumo sebagai wakilnya.

Tetapi sebelum secara resmi dibentuk, pasukan dan pejuang Indonesia pada 6-7 Oktober 1945 sudah bergerak menyerang Pangkalan Udara Maguwo. Pangkalan yang terletak kurang lebih 8 km timur pusat Kota Yogyakarta itu mulai dibangun pada 1940 dan digunakan oleh Militaire Luchvaart sejak 1942.

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pangkalan udara ini kemudian menjadi basis militer oleh Bala Tentara Jepang di bawah Penerbangan Angkatan Laut (Kaigun Kokusho) yang berkedudukan di Surabaya.

Sebagaimana ditulis dalam Profil Pangkalan TNI AU Adisutjipto, serangan dimulai ketika Komandan BKR Cabang Yogyakarta Suroyo melemparkan granat ke tower pangkalan udara tersebut. Ledakan itu menjadi isyarat dimulainya serangan. Serangan mendadak dan tidak terduga membuat tentara Jepang yang mentalnya sudah turun karena kekalahan di Perang Dunia II menjadi panik hingga tidak bisa mempertahankan pangkalan. Sebagian dari mereka berlari kea rah selatan dan bersembunyi di Desa Padasan yang memang sejak awal disiapkan sebagai tempat persembunyian jika mereka diserang.

Saat serangan terjadi, tiga pesawat berhasil terbang. Satu pilot Jepang tewas tertembak saat hendak masuk ke kokpit pesawat. Pangkalan udara itupun akhirnya dikuasai pasukan Indonesia, termasuk 50 pesawat yang tersisa di tempat tersebut.

Dengan minimnya pengalaman, menjadikan merawat dan menerbangkan pesawat menjadi tantangan yang sangat berat. Namun dipelopori Adisutjipto semua kendala itu akhirnya bisa diatasi. Pada 10 Oktober 1045 Adisutjipto untuk pertama kalinya menerbangkan pesawat tipe Nishikoren di Ciebeurum Tasikmalaya.

Kemudian pada 28 Oktober 1945 penduduk Yogyakarta gembira dan berbangga karena untuk pertama kalinya melihat pesawat dengan identitas merah putih terbang melayang-layang di atas kota.

Belanda kemudian merebut pangkalan ini ketika menggelar agresi militer ke Indonesia. Setelah pengakuan kemerdekaan melalui Konferensi Meja Bundar, pangkalan inipun kembali menjadi basis militer Indonesia.

Exit mobile version