Sudah lebih dari dua bulan sejak Presiden Donald Trump bertemu dengan Kim Jong Un Korea Utara di Singapura, hanya ada sedikit kemajuan yang terlihat sejauh ini dalam membujuk Korea Utara untuk menyerahkan senjata nuklirnya.
Pada Rabu 14 Agustus 2018, media pemerintah Korea Utara menawarkan penjelasan mengapa Perang Korea harus secara resmi berakhir.
“Mari kita mengadopsi deklarasi tentang mengakhiri perang, membangun mekanisme perdamaian untuk membuat perdamaian yang tahan lama,” tulis Kantor Berita Korea Utara KCNA sebagaimana dikutip Star and Stripes.
“Mari kita tidak menuntut ‘denuklirisasi terlebih dahulu’ dan jangan pernah mengampuni tindakan tidak masuk akal dari Amerika yang memaksa utara untuk membuat konsesi sepihak!”
Pernyataan itu merupakan pengingat bahwa masa depan kedua Korea masih terikat erat dengan masa lalu mereka khususnya, perang di mana sebagian besar pertempuran sebenarnya telah berhenti 65 tahun lalu.
Perang pecah pada tahun 1950. Bulan-bulan pertama perang Korea Utara menginvasi Selatan dan menyerbu hampir sepanjang jalan di semenanjung itu. Kemudian serangan balik dilakukan pasukan PBB yang memukul mundur mereka ke perbatasan Korea Utara dengan China; dan akhirnya invasi oleh China mendorong pasukan Amerika kembali ke daerah sekitar paralel ke-38 yang menjadi garis depan cukup lama.
Korea Utara menjadi sasaran kampanye pemboman besar-besaran, dan perkiraan menunjukkan bahwa total 2,5 juta warga sipil tewas selama konflik. Selama bertahun-tahun, ada pembicaraan tentang persetujuan gencatan senjata untuk mengakhiri pertempuran, tetapi sejumlah masalah, termasuk repatriasi tawanan perang, mencegah hal itu terjadi.
Pemilihan Presiden Dwight D. Eisenhower pada tahun 1952 dan kematian pemimpin Soviet Joseph Stalin membantu memacu negosiasi hingga pasukan Korea Utara dan China dan Komando PBB akhirnya menandatangani gencatan senjata pada tanggal 27 Juli 1953.
Perjanjian tersebut menghentikan pertempuran dan mendirikan demiliterisasi zona (DMZ). Korea Selatan bukan merupakan pihak dalam gencatan senjata hal ini karena Presiden Korea Selatan sat itu Syngman Rhee menegaskan ingin terus berjuang.
Secara teori, gencatan senjata itu dimaksudkan untuk sementara, menyerukan penghentian sepenuhnya permusuhan dan semua tindakan kekuatan bersenjata di Korea sampai penyelesaian damai akhir tercapai.
Tetapi sebuah konferensi yang diadakan di Jenewa pada tahun 1954 gagal menemukan kesepakatan damai penuh, sebagian besar karena kedua belah pihak menganggap diri mereka sebagai pemenang. Meningkatnya ketegangan Indocina dengan Prancis juga memperumit masalah. Amerika Serikat kemudian membatalkan satu bagian gencatan senjata dengan memindahkan senjata nuklir ke Korea Selatan pada tahun 1958.
Meskipun pertempuran penuh tidak pernah berlanjut, ketegangan militer tetap tinggi. Ada sejumlah insiden kekerasan. Sejak 1990-an, Korea Utara sering mengatakan tidak akan lagi mematuhi gencatan senjata.
Bagaimana situasi saat ini?
Ketika Kim bertemu dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in di desa gencatan senjata Panmunjom di DMZ pada bulan April, kedua orang itu setuju untuk bekerja “menyatakan mengakhiri perang dan membentuk rezim perdamaian yang permanen dan solid”.
Untuk Korea Utara, seruan akhir Perang Korea sudah jelas Ini akan membantu melegitimasi rezim Korea Utara dan mungkin bahkan mengarah pada pengakuan diplomatik dari Amerika Serikat.
Beberapa ahli menyatakan bahwa proses tersebut dapat dimulai dengan pernyataan bersama Amerika-Korea Utara bahwa Perang Korea telah berakhir – sebuah langkah yang akan membawa bobot simbolis yang besar dengan sedikit rintangan hukum daripada mengubah perjanjian gencatan senjata menjadi perjanjian damai penuh. Hal ini berpotensi membutuhkan koordinasi dengan Beijing serta persetujuan Kongres.
Korea Selatan melihat deklarasi sebagai cara untuk meningkatkan hubungan antar-Korea dan membuka jalan bagi perjanjian damai. Tetapi karena Seoul bukan merupakan pihak dalam gencatan senjata, pandangannya membawa lebih sedikit bobot hukum. Dan meskipun Beijing telah mengisyaratkan kesediaannya untuk sebuah perjanjian damai hubungan dengan Washington yang tegang bisa menjadi halangan.
Trump telah menunjukkan antusiasme untuk gagasan perdamaian permanen, “KOREAN WAR TO END!” tulisnya di Twitter pada April 2018. Dan ketika utusan Korea Utara Kim Yong Chol mengunjungi Gedung Putih pada bulan Juni, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa mereka “berbicara tentang mengakhiri perang.”
Tapi meski perjanjian yang ditandatangani di Singapura oleh Trump dan Kim berisi referensi untuk membangun rezim perdamaian abadi dan stabil di Semenanjung Korea, Amerika Serikat tampaknya melihat ini sebagai sesuatu yang hanya akan terjadi setelah Korea Utara setuju untuk melepaskan senjata nuklirnya.
“Dengar, kami mendukung rezim perdamaian, mekanisme damai di mana negara dapat bergerak maju menuju perdamaian,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert Selasa 13 Agustus 2018. “Tetapi fokus utama kami adalah pada denuklirisasi di Semenanjung Korea, dan itu adalah sesuatu yang sangat jelas bagi pemerintah.”
Di sisi lain Korea Utara menyebut Amerika terlalu arogan dengan menjadikan penghapusan nuklir sebagai syarat utama. Seperti yang ditulis KCNA, yang penting adanya perjanjian damai terlebih dahulu, baru setelah itu bicara soal nuklir. Entah apakah tarik ulur ini pada akhirnya akan berhenti karena ada titik temu.