Serangan bunuh diri dengan pesawat atau yang dikenal sebagai Kamikaze yang dikembangkan Jepang pada Perang Dunia II ternyata mendapat perhatian serius dari Uni Soviet.
Soviet memandang taktik Jepang ini sebagai hal yang layak untuk dipertimbangkan. Kala itu Jepang melihat peta pertempuran laut berubah setelah Amerika mengerahkan kapal induk berukuran besar ke laut hingga Amerika bisa menumpuk kekuatan, termasuk pesawat di kawasan Pasifik.
Tidak ada cara lain bagi Jepang kecuali membangun strategi menghancurkan kapal induk sebelum mereka meluncurkan kekuatan udaranya. Dan pada 1944 Jepang pun mulai melakukan serangan bunuh diri yang dikenal dengan kamikaze.
Pada 2013, mantan perwira Angkatan Laut Soviet bernama Maksim Y. Tokarev pernah menulis sebuah artikel di US Naval War College dengan judul kamikaze: The Legacy Soviet.
Dalam artikel tersebut Tokarev menyebtukan Uni Soviet bermaksud menggunakan pembom Tupolev-22M Backfire untuk strategi serangan bunuh diri.
Pada tahun 70-an dan awal 80-an, Soviet tidak dapat membuat armada kapal induk untuk menyaingi Angkatan Laut Amerika hingga mereka harus membuat strategi untuk melawannya.
Gagasan mereka masih berpusat di sekitar pertempuran udara, tetapi pasukan mereka akan berbasis di darat dekat dengan garis pantai Soviet. Awalnya taktik tidak dikembangkan untuk misi bunuh diri. Tetapi berbagai analisa menyebutkan kalaupun tidak bunuh diri, maka akan sangat sedikit pesawat Soviet yang bisa kembali dengan selamat di pangkalan darat mereka.
Angkatan udara dan angkatan laut Uni Soviet kemudian merencanakan untuk mengirimkan 100 pesawat pembom Tupolev-22m Backfire yang dipersenjatai dengan rudal anti-kapal terhadap kelompok tempur kapal induk Amerika. Tetapi perhitungan yang dilakukan mereka akan kehilangan setengah dari pesawat yang dikirim. Jumlah ini akan meningkat menjadi 100 untuk setiap kapal induk.
Soviet pun menghitung untung ruginya. Perencana Soviet ingin memperlambat reaksi dari seluruh sistem pertahanan udara kapal induk, untuk mencari waktu yang tepat guna meluncurkan serangan rudal.
Perencana Soviet mempelajari kru pencegat AS yang bergantung pada pengendali udara, sehingga perencana harus menemukan cara untuk menipu mereka dengan meluncurkan pasukan umpan yang seolah ingin melakukan serangan penuh.
Sebaliknya, pasukan angkatan laut dan udara Soviet, tidak mempercayai informasi yang mereka dapatkan dari satelit atau metode intelijen lainnya. Untuk pilot Soviet, sumber yang paling diandalkan adalah pengelihatan mereka kemudian mengirimkan koordinat.
Pesawat-pesawat akan meluncurkan rudal dari jarak maksimum untuk mengalihkan perhatian para awak Amerika sementara dua TU-16 Badgers, akan berusaha untuk masuk ke pusat kapal induk untuk menemukan pembawa visual, tugas mereka hanya untuk mengirim posisi yang tepat.
Setelah posisi kapal induk diketahui secara tepat dua sampai tiga kelompok pesawat Tupolev-22m Backfire akan mendekati dari arah yang berbeda dan pada ketinggian yang berbeda. Peluncuran utama harus dibuat secara bersamaan oleh semua pesawat. “Waktu emas” untuk serangan rudal itu hanya satu menit untuk hasil terbaik dan tidak lebih dari dua menit untuk hasil yang memuaskan. Jika dalam latihan waktunya lebih dari itu maka serangan dinyatakan gagal.
Soviet menghitung 12 tembakan rudal konvensional diperlukan untuk menenggelamkan kapal induk. Tetapi cukup dengan satu rudal nuklir untuk hasil yang sama.
Karena tingginya tingkat kesulitan dan kecelakaan terutama ketika mereka harus keluar dari medan pertempuran atau untuk mengisi bahan bakar di udara banyak pembom Soviet yang ikut dalam misi ini menggangap misi ini sebagai bunuh diri.
Petugas di kapal rudal dipandu akan membantu serangan udara Soviet dengan perhitungan mereka mampu bertahan melawan kelompok tempur Angkatan Laut AS selama 20-30 menit. Kesimpulan dari strategi itu adalah tingkat kerugian bisa 50 persen lebih rendah dibandingkan jika mereka melakukan serangan penuh.