Suasana Majapahit malam itu terasa berbeda. Penjagaan di gerbang kraton berlipat-lipat lebih kuat dibanding hari-hari biasanya. Beberapa obor di sejumlah titik dimatikan menambah suasana semakin tampak mencekam. Selain para prajurit yang berjaga di gerbang, beberapa dari mereka bersiaga di balik kegelapan malam.
Segera wajah para prajurit jaga tegang ketika dari jauh terdengar derap kuda yang mendekat. Beberapa prajurit berdiri merapat dan bersiap menunggu apa yang akan terjadi. Mereka terus menunggu ketika bayangan hitam penunggang kuda muncul dari tikungan dan bergerak semakin dekat. Pemimpin prajurit yang berdiri di tengah jalan segera mengangkat tangannya meminta penunggang kuda itu berhenti dan turun. Ketegangan sedikit mereda setelah tahu yang datang adalah salah seorang dari teman mereka.
Prajurit yang baru datang itu segera berbicara dengan pemimpin prajurit jaga. Tidak berselang lama mereka bergegas masuk ke lingkungan istana dan langsung menuju ke tempat kediaman raja. Di depan gerbang kediaman mereka kembali dicegat oleh seorang prajurit jaga.
“Kami ingin bertemu ke bekel,” kata kepala prajurit jaga yang datang kepada yang mencegatnya. “Ada hal penting yang harus kami laporkan,” katanya. Prajurit penjaga istana raja itupun segera berlari dan tidak berselang lama dia sudah datang kembali dengan sosok yang disebut sebagai Ki Bekel tadi.
“Suasana semakin gawat Ki Bekel. Pasukan pemberontak sudah menguasai Kotapraja dan sekarang bergerak menuju Kraton,” kata prajurit yang datang berkuda tadi melapor. Seketika wajah Ki Bekel menjadi tegang sebelum kemudian berkata. “Baik, kalian kembali ke tempat masing-masing.” Dengan sikap hormat kedua orang itupun meninggalkan gerbang kediaman raja.
Ke Bekel segera bergerak masuk istana. Dengan ragu-ragu dia kemudian melangkah ke kamar raja dan mengetuk pintu sebelum kemudian keluar sesosok laki-laki berpakaian mewah. “Ada apa Bekel Gadjah Mada?” kata sosok tersebut. Laki-laki yang datang ternyata bernama Gadjah Mada.
“Maaf Gusti Prabu Jayanegara, situasi semakin gawat. Kraton sepertinya tidak bisa diselamatkan. Demi keselamatan Gusti Prabu, maka saya minta segera meninggalkan istana,” kata Ki Bekel dengan menunduk. “Kami akan mengawal Gusti Prabu,” lanjutnya.
Jayanegara pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti permintaan Gadjah Mada. Segera dia bersama keluarganya dikawal 16 prajurit Bhayangkara yang dipimpin Gadjah Mada meninggalkan kraton melalui pintu belakang. Dalam gelap malam, rombongan itu bergerak menembus ladang dan hutan sebelum kemudian sampai dn berhenti di daerah Badander. Jayanegara pun selamat dari serbuan para pemberontak yang dipimpin oleh Ra Kuti.
Penyelamatan Raja Jayanegara oleh Gadjah Mada kemudian dicatat dalam sejarah sebagai operasi yang sukses. Operasi ini bahkan menjadikan untuk pertama kalinya Gadjah Mada disebut dalam Kitab Pararaton.
Majapahi di bawah Raja Jayanegara memang diwarnai dengan situasi yang tidak stabil dengan munculnya berbagai pemberontakan. Salah satunya yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Jayanegara merupakan raja kedua Majapahit. Dia merupakan putra dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan di Jawa Timur tersebut. Sejak awal Jayanegara memang tidak banyak disuka oleh berbagai kalangan. Salah satunya karena Jayanegara bukan anak permaisuri. Ibundanya adalah Dara Petak, putri dari Sumatera yang dibawa pulang oleh Kebo Anabrang setelah dia sukses menjalankan Ekspedisi Pamalayu atas perintah Kertanegara, Raja Singhasari.
Lebih lengkap tentang Ekspedisi Pamalayu silahkan baca:
Tetapi Jayanegara adalah satu-satunya anak laki-laki Raden Wijaya. Dua anak dari istrinya yang lain yakni Gayatri semuanya perempuan yakni Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat. Sikap Jayanegara yang kejam dan arogan diperburuk dengan adanya sosok yang sangat berpengaruh di samping Jayanegara yang dikenal sebagai Mahapati. Sosok ini banyak memberi pengaruh buruk kepada sang raja.
Akibat banyaknya kebencian hingga sejak dia naik tahta pada tahun 1309 sejumlah pemberontakan muncul. Beberapa pemberontakan yang terkenal adalah pemberontakan Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, hingga Kuti pada 1319.
Ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti, Gadjah Mada sudah menjadi anggota Bhayangkara. Pasukan khusus penjaga raja. Malam saat Jayanegara harus mengungsi, dia bertugas memimpin kelompok prajurit yang berjumlah 15 orang tidak termasuk dirinya. Dalam situasi yang genting dia kemudian mengambil keputusan tepat untuk menyelamatkan sang raja. Meski Ra Kuti akhirnya bisa menghancurkan kotapraja atau ibukota Majapahit dan menguasai istana, tetapi pemerintahan Jayanegara belum bisa dinyatakan berakhir.
Di Badander Gadjah Mada terus dengan seksama menjaga Jayanegara. Dia tidak memberikan sedikitpun ruang informasi keberadaan rombongan itu bocor. Bahkan saat seorang abdi dalem yang ikut mengungsi minta izin untuk pulang, jawaban yang diterima dari Gadjah Mada adalah kematian. Abdi dalem itu dibunuh.
Namun Gadjah Mada juga tidak tinggal diam. Kitab Pararaton menyebutkan, lima hari setelah ada di Badander, Gadjah Mada minta izin kepada raja untuk menyelinap masuk kotapraja dan istana Majapahit.
Setelah mendapat izin, Gadjah Mada secara diam-diam masuk ke wilayah yang sudah dikuasai pemberontak. Tujuan utamanya adalah untuk melihat bagaimana sikap para petinggi kerajaan dan kekuatan sebenarnya dari Ra Kuti. Upayanya berhasil. Dia menyimpulkan hampir sebagian pejabat masih tetap setia kepada Jayanegara sementara kekuatan Ra Kuti ternyata juga tidak sekuat yang diduga sebelumnya.
Gadjah Mada kemudian meminta kepada para pejabat dan pasukan yang tersisa untuk bersiap merebut kembali kerajaan. Melalui sebuah serbuan cepat, akhirnya pemberontak berhasil dikalahkan dan Ra Kuti berhasil ditangkap dan dibunuh.
Misi sukses Gadjah Mada ini akhirnya membaw Jayanegara kembali ke tahta Majapahit. Pada saat itu dia baru menyadari pengaruh buruk Mahapati hingga tokoh itupun akhirnya dihukum mati. Sebagai penghargaan kepada Gadjah Mada, prajurit itupun diangkat menjadi patih ke Kerajaan Daha. Kelak ketika era pemerintahan Tribuana Tunggadewi, Gadjah Mada ditarik ke Majapahit untuk menjadi mahapatih dan saat itulah terucap Sumpah Palapa Gadjah Mada.
Sayangnya, Jayanegara sendiri tidak berubah banyak dalam hal sikap. Bahkan dia melarang adik-adik perempuannya untuk menikah karena khawatir suami mereka akan merebut kekuasaan. Catatan lain bahkan menyebutkan Jayanegara justru akan menikahi dua adiknya itu untuk mengamankan tahta.
Jayanegara kemudian mengakhiri kekuasaannya secara tragis dengan dibunuh oleh Ra Tanca. Anggota pasukan Bhayangkara yang juga seorang tabib. Saat mengobati bisul sang raja, Ra Tanca menusuk Jayangara hingga tewas. Sementara Ra Tanca tewas sesaat setelah kejadian karena dibunuh Gadjah Mada.
Kematian Jayanegara meninggalkan misteri tentang siapa sebenarnya dalang pembunuhan tersebut. Berbagai tafsir para ahli terhadap Kitab Pararaton menghasilkan dugaan yang berbeda-beda.
Ada yang menyebut Ra Tanca sebagai pelaku sekaligus dalang karena sakit hati istrinya diperlakukan tidak senonoh oleh Jayanegara. Dugaan lain justru mengarah pada Gadjah Mada yang juga sakit hati karena istrinya diperlakukan sama. Kemudian dia memanfaatkan Ra Tanca untuk melakukan pembunuhan. Untuk menutupi jejak Ra Tanca kemudia dibunuh tanpa pengadilan.
Dugaan yang paling mengejutkan, bahkan ada yang menduga Gayatri yang merupakan ibu dari Tribuana Tunggadewi yang merancang pembunuhan tersebut karena ingin mencegah Jayanegara menikahi adiknya. Gayatri diduga bekerjasama dengan Gadjah Mada.
Apapun itu, penyelamatan Gadjah Mada saat Jayanegara dalam posisi kritis telah dicatat sebagai bagian penting sejarah Majapahit. Operasi intelijen tersebut juga mengangkat nama Gadjah Mada dan membuka lebar jalur kariernya hingga mencapai puncak di zaman keemasan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk.
Dari berbagai sumber. Penggambaran suasana dan perbincangan sepenuhnya rekaan penulis