Mumpung Agustus mari kita banyak mengenang sejarah nusantara. Setelah sebelumnya kita bicara soal Mataram, kini kita akan ngomong santai soal Singhasari.
Wajah Kertanegara seketika merah karena marah. Tangan Raja Kediri yang memegang surat itu bergetar. Wajahnya menatap tajam pada seseorang yang membawa surat tersebut.
Kertanegara tak kuasa menahan marah. Sambil merobek-robek surat tersebut, Kertanegara segera berdiri dan berkata keras kepada utusan pembawa surat. “Sampaikan kepada rajamu, aku dan Singosari tidak sudi tunduk di bawah kaki kekuasaan Mongolia !”, katanya lantang.
Surat yang dipegangnya datang dari seorang Kubilai Khan, penguasa Mongol yang telah melebarkan kekuasaanya hingga Asia Tenggara. Tidak hanya membentak, kemarahan Kertanegara juga meledak dengan memotong telinga Meng Khi, salah satu utusan yang dikirim Kubilai Khan dan selanjutnya diusir untuk pulang. Kertanegara telah memukul genderang perang dengan kekuatan paling ditakuti saat itu.
Setelah kepulangan utusan Kubilai Khan, dia mulai berpikir bagaimana untuk membendung kekuatan pasukan Mongol
Kertanagara yang menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268 tersebut kemudian memutuskan bahwa untuk membendung serbuan Bangsa Mongol maka wilayah Sumatera yang kala itu dikenal sebagai Bumi Malayu harus dijadikan benteng pertahanan. Saat itu di wilayah ini terdapat kerajaan besar yang bernama Swarnnabhumi.
Maka dimulailah upaya untuk menguasai kerajaan ini dengan melahirkan sebuah operasi militer yang disebut dengan Ekspedisi Pamalayu pada 1275. Kebo Anabrang atau Mahesa Anabrang ditunjuk untuk memimpin ekspedisi tersebut.
Untuk itu, Kertanagara mencoba mendahului untuk menguasai Sumatera sebelum Bangsa Mongol datang. Pendapat lain menyebutkan ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara di bawah komando Singhasari untuk menahan serangan Mongol.
Nagarakretagama mengisahkan tujuan awal Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi , penguasa Malayu, secara baik-baik. Namun, raja Swarnnabhumi tidak mau hingga terjadilah pertempuran antara kedua kerajaan tersebut.
Kata Pamalayu sendiri berarti ‘perang melawan Malayu’ atau juga diartikan “tidak melepaskan Malayu”. Ekspedisi yang akhirnya diakhiri dengan perang itupun dimenangkan oleh pasukan Kebo Anabrang.
Setelah kerajaan Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya.
Tetapi upaya membendung Mongol tetap gagal. Pada tahun 1293, Kubilai Khan mengirim 20.000 tentara asal Hokkian, Jiangsu dan Hukuang yang dikomandani Shih-pi, Using dan Ike Mese. Mereka mendarat di Tuban untuk selanjutnya menyerbu melalui rute Kali Sedayu maupun Kalimas
Namun, Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol dari Pulau Jawa. Mereka meninggalkan Jawa pada 23 April 1293.
Kitab Pararaton menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294. Ada perbedaan waktu dalam Pararaton yakni meleset satu tahun. Diyakini kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar tanggal 3 Mei 1293 bukan 1294.
Kepulangan pasukan ke Jawa membawa dua putrid Melayu yang diserahkan ke Raden Wijaya yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak diambil sebagai istri oleh Raden Wijaya yang kemudian melahirkan Jayanagara raja Majapahit penganti Raden Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, yang kemudian hari menjadi raja di Malayapura.
Adityawarman sendiri mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk kepada jabatan ini.
Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap di Sumatra dan menolak kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari.
Diperkirakan Indrawarman bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali ke Jawa, dia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.
Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara.
Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut apabila kerajaan Majapahit datang untuk meminta pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan kerajaan ini.
Berbagai sumber