Lockheed Martin menawarkan jet tempur hybrid kepada Jepang yang sedang berencana untuk mencari pengganti F-2 mereka. Tetapi jet tempur yang direncanakan merupakan kawin silang F-22 dan F-35 tersebut akan sangat mahal yakni mencapai US$177 juta atau lebih dari Rp2 triliun. Ini adalah angka yang sangat mahal untuk sebuah jet tempur.
Mengapa Jepang menginginkan jet tempur terbaik yang bisa dibelinya, dan mengapa negara berteknologi tinggi itu terpaksa pergi ke perusahaan Amerika, adalah kisah yang berasal dari Perang Dunia II.
Pada akhir Perang Dunia II, Jepang terkapar dalam reruntuhan. Dihantam serangan ribuan bom dan diakhiri dengan dua senjata nuklir, kota-kota terbesar di negara itu benar-benar hancur, dan Jepang membutuhkan beberapa dekade untuk membangun kembali.
Isu lebih besar lain yang muncul dari era itu adalah bahwa Jepang telah gagal mempertahankan superioritas udara, memungkinkan pembom B-29 Amerika untuk merusak negara itu sesuka hati.
Pasca perang, Jepang bersekutu dengan Amerika Serikat dan membeli jet tempur superioritas udara terbaik yang mampu dibelinya.
Negara Asia adalah salah satu pelanggan pertama F-104 Starfighter, F-4 Phantom dan F-15 Eagle. Jepang membeli dan membangun di bawah lisensi lebih dari 200 F-15 yang dikonversi ke standar F-15J sekaligus untuk mendorong industri penerbangan domestik. F-15J, hampir 40 tahun telah terbang bersama Angkatan Udara Jepang.
F-15J adalah pesawat terbang yang hebat, tetapi airframesnya semakin tua dan pesawatnya semakin usang. Ada juga masalah Angkatan Udara China, yang semakin sering terbang di dekat wilayah Jepang, dan Beijing telah mendapatkan jet tempur generasi kelima J-20 dan FC-31. Sementara Jepang belum memiliki jet tempur siluman untuk mengimbanginya.
Jepang tidak berniat menunggu lama untuk jet tempur baru. Awalnya negara tersebut berencana untuk membeli F-22 Raptor, Amerika tidak mau menjual jet tempur itu ke siapapun.
Jepang, yang kecewa karena tidak diizinkan membeli jet tempur itu kemudian mulai mengembangkan demonstrator sendiri yang pada akhirnya akan mengarah pada sebuah jet tempur generasi kelima sambil secara bersamaan terus berharap larangan ekspor F-22 akhirnya akan dibatalkan.
Demonstran ATD-X, dijuluki X-2, akhirnya terbang pada April 2016. ATD-X, yang dicat dengan warna merah dan putih, seolah menjadi simbol kembalinya Jepang ke dunia pengembangan jet tempur .
Tetapi membangun demonstrator teknologi masih jauh dari membangun jet tempur generasi kelima modern sebenarnya. Jepang menghadapi perjuangan berat. Industri kedirgantaraan negara ini ternyata tidak seperti yang diduga. Negara dengan ekonomi ketiga di dunia ini ternyata tidak memiliki keahlian dalam avionik, integrasi sistem, pengembangan badan pesawat, perangkat lunak, penanggulangan elektronik dan, mungkin yang paling penting, teknologi siluman.
Jika Jepang ingin membangun pesawat tempur superioritas udara sendiri, dia harus menjadi pemimpin dunia dalam teknologi itu dengan cepat.
Jepang akhirnya menyadari membangun jet tempur siluman sendiri tidak akan praktis dan juga tidak terjangkau. Bulan lalu, sejumlah laporan muncul Jepang menggagalkan upaya untuk menghasilkan jet tempur superioritas sendiri dan memilih untuk mengembangkannya dengan mitra internasional.
Selain Sukhoi di Rusia dan Chengdu di China, Lockheed Martin adalah satu-satunya perusahaan di dunia yang benar-benar telah mengembangkan dan memproduksi pesawat tempur generasi kelima. Menurut laporan di Reuters, Lockheed menawarkan jet hybrid F-22 Raptor / F-35 Joint Strike Fighter yang menggabungkan atribut terbaik yang dimiliki dua jet tempur tersebut.
Lalu kira-kira seperti apa perkawinan dua siluman yang akan kemungkinan disebut sebagai F-3 tersebut? Perkiraan pertama yang muncul adalah jet tempur ini nanti secara eksternal akan menggunakan Raptor sementara jeroannya akan menggunakan teknologi Lightening II.
Jepang membutuhkan jet tempur superioritas udara, yang berarti tubuh F-22 yang dibutuhkan mengingat F-35 adalah mesin tunggal yang akan berat untuk mengemban peran tersebut.
Desain seperti itu akan menggabungkan siluman Raptor yang memiliki tata letak mesin kembar, kemampuan supercruise, dan muatan internal yang lebih besar dengan komputer canggih JSF, avionik modern, dan kemampuan jaringan.
F-22 Raptor, meski jet tepur generasi kelima masioh menggunakan mikroprosesor 286 dari era Windows 95.
Jet hybrid ini dibayangkan akan memiliki semua kekuatan F-22 dan F-35 dengan meninggalkan kelemahan mereka. Sementara itu, Jepang akan ingin mengintegrasikan peralatan apa yang dapat diproduksi di dalam negeri, termasuk mesin dan radar Jepang.
F-3 juga akan menarik bagi negara-negara lain yang selama ini ingin membeli F-22. Jepang, Australia, Arab Saudi dan Israel semuanya tertarik untuk membeli Raptor.
Siluman seberat 800 pon ini awalnya akan dibangun 700 unit tetapi realisasinya akhirnya hanya menjadi 187 jet operasional. Ketika produksi F-22 berakhir, superioritas udara bukan prioritas utama, dan perang serentak di Irak dan Afghanistan melemahkan sumber daya dari program senjata canggih.
Sejak itu, Rusia dan Cina tumbuh lebih agresif, dan kedua kekuatan global membangun jet tempur siluman sendiri bahkan pesawat China telah operasional. Jika Jepang membayar biaya pengembangan F-3, Angkatan Udara Amerika akan mendapat keuntungan dari pembelian dan menurunkan biaya untuk semua pihak.
Jadi, seberapa cepat ini bisa terjadi? Mengawinkan F-22 / F-35 mungkin akan memakan waktu sepuluh tahun untuk pengembangan dan dapat menghabiskan biaya lebih dari US$60 miliar.
Pada 2017, sebuah studi Angkatan Udara mengutip biaya pengadaan tambahan 194 F-22 menyebut angka US$50 miliar dolar — termasuk US$10 miliar hanya untuk memulai kembali jalur produksi F-22.
Mengintegrasikan F-35 dan teknologi Jepang akan menjadi proses yang panjang dan mahal. Tetapi jika berhasil maka pesawat bertubuh F-22 dengan otak F-35 akan menjadi jet tempur yang sangat mematikan.