Pesawat tanker udara KC-46 Pegasus telah berhasil menyelesaikan tes penerbangan terakhirnya hingga siap untuk tahap pengiriman pesawat pertama ke Angkatan Udara Amerika yang dijadwalkan akan dilakukan pada akhir Oktober mendatang.
USAF dalam pengumumannya Jumat 13 Juli 2018 mengatakan tim gabungan Boeing dan Angkatan Udara Amerika menyelesaikan pengujian terakhir Remote Vision System dan sertifikasi pengisian bahan bakar untuk F-16 Fighting Falcon dan C-17 Globemaster III.
Pengujian juga termasuk KC-46 diisi ulang oleh Stratotanker KC-135. “Dengan selesainya tonggak ini, program uji telah menunjukkan tingkat kematangan yang menempatkan Boeing untuk memberikan, dan Angkatan Udara untuk menerima sebuah pesawat pada akhir Oktober 2018,” kata akuisisi layanan Angkatan Udara eksekutif Dr Will Roper dalam jumpa pers.
Pengujian dan sertifikasi yang sukses berarti bahwa pengujian operasional tanker dapat dimulai pada 2019.
Masalah teknis memaksa perusahaan untuk melewatkan batas waktu kontrak pertama untuk memberikan 18 pesawat yang harusnya diberikan pada bulan Agustus 2017. Jadwal diundur Januari 2018 namun molor lagi. Jadwal baru Maret 2018 juga tidak terpenuhi hingga saat ini direncanakan Oktober 2018.
KC-46 akan membawa 212.229 pon bahan bakar dan dirancang untuk memasok setiap pesawat perang AS di udara. Pesawat berbadan lebar ini didasarkan pada Boeing 767 dan akan mampu membawa sebanyak 18 palet kargo serta melakukan evakuasi medis untuk 58 penumpang. Pesawat ini direncanakan untuk menggantikan armada tanker KC-135 Angkatan Udara dari Amerika.
Namun pengembangan pesawat tanker ini telah mengalami sejumlah masalah termasuk penundaan dan juga pembengkakkan biaya.
Pada Januari 2017 Boeing mengumumkan bahwa biaya pada program tanker KC-46 kembali bertambah lagi sebesar US$201 juta atau sekitar Rp2,7 triliun. Hal ini menjadikan menjadikan pembengkakan biaya pada program ini telah mencapai lebih lebih dari US$2 miliar atau sekitar Rp26,6 triliun.
Boeing terkunci ke dalam kontrak harga tetap dengan Angkatan Udara yang membuat perusahaan bertanggung jawab atas pertumbuhan biaya jika melebihi US$4,9 miliar (sekitar Rp65,1 triliun) yang disepakati dalam kontrak.
Perusahaan ini sebelumnya telah membayar lebih dari US$1,9 miliar atau sekitar Rp25,2 triliun untuk pertumbuhan biaya yang disebabkan oleh berbagai masalah teknis selama pembangunan pesawat tanker ini.
Namun, CEO Boeing Dennis Muilenburg dalam laporan 25 Januari 2017 menyebutkan biaya baru sebesar US$201 juta yang terjadi pada kuartal keempat 2016 berasal dari penerapan perubahan untuk produksi awal pesawat, bukan karena masalah yang baru ditemukan,.
“Masalah kami pada kuartal keempat [berpusat] sekitar perubahan konfigurasi yang ditetapkan sebelumnya, perubahan kabel,” katanya. “Sekarang kami menerapkan mereka pada tingkat rinci dalam pesawat produksi awal.”