Di antara lima kekuatan nuklir utama di dunia, hanya China yang meningkatkan jumlah hulu ledak nuklir di gudangnya selama setahun terakhir. Sementara empat negara lain yakni Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Inggris justru mengurangi atau mempertahankan jumlah yang sama.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada Senin 18 Juni 2018 melaporkan bahwa China meningkatkan persediaan hulu ledak nuklirnya dari 270 menjadi 280, sementara kekuatan nuklir besar lainnya mengurangi atau mempertahankan persediaan arsenal mereka.
SIPRI mencatat bahwa meski merilis laporan tahunan 18 Juni, angka-angka ini didapat pada Januari 2018. “Semua perkiraan adalah perkiraan,” tambah lembaga think tank.
Kekuatan nuklir lainnya yang disebutkan dalam laporan itu adalah India, dengan 130-140 senjata, Pakistan, dengan 140-150, Israel, yang diperkirakan memiliki 80, dan Korea Utara, diperkirakan memiliki kurang dari 10 bom nuklir.
Inggris, pada bagiannya, adalah satu-satunya dari lima kekuatan utama nuklir dunia, yang tidak mengambil langkah apa pun untuk mengurangi persediaan hulu ledaknya dengan mempertahankan 215 senjata mereka.
Laporan itu menyebutkan dua kekuatan nuklir terbesar, Rusia dan Amerika, keduanya memangkas jumlah hulu ledak mereka. Jumlah nuklir di gudang senjata Rusia menurun dari 7.000 menjadi 6.850, sementara hulu ledak nuklir Amerika menurun dari 6.800 menjadi 6.450.
Sebelumnya, surat kabar resmi Tentara Pembebasan Rakyat melaporkan pada 30 Januari 2018 bahwa sebagai tanggapan terhadap “Tinjauan Postur Nuklir” yang belum pernah terjadi sebelumnya militer China “harus memperkuat keandalan dan kepercayaan dari pencegahan nuklir kami dan kemampuan serangan balasan nuklir. ”
Pada tahun 2011, sekelompok mahasiswa Georgetown University di bawah bimbingan mantan pejabat Pentagon, Profesor Phillip Karber memproyeksikan bahwa China memiliki sekitar 3.000 hulu ledak nuklir di jaringan terowongan bawah tanah yang luas yang dijuluki “Tembok Raksasa Bawah Tanah”.
Namun jumlah itu dikritik sebagai “konyol” oleh Gregory Kulacki dari Union of Concerned Scientists, sementara Hans Kristensen skeptis tentang seberapa baik para siswa mengartikan citra satelit