3. Sovetsky Soyuz (Uni Soviet)
Pada tahun 1918, rezim Bolshevik mewarisi Angkatan Laut Imperial Rusia, yang terdiri dari dreadnoughts usang beberapa kapal tua dan kecil yang tidak akan memadahi untuk membela perbatasan maritim mereka yang sangat luas.
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, pemerintah Soviet kemudian memunculkan berbagai skema untuk merekonstruksi armada. Meski secara ekonomi lemah, Soviet akhirnya pada akhir 1930-an mulai pembangunan armada tempurnya.
Moskow mencari kapal perang yang bis bersaing dengan milik Jerman dan Jepang. Sebanyak 15 kapal kelas Sovetsky Soyuz dengan bobot 60.000 ton danmembawa sembilan senjata 9 16 ” di tiga menara triple dan memiliki kecepatan 28 knot akan dibangun.
Mereka akan memberikan inti dari empat skuadron pertempuran Soviet di Kutub Utara, Baltik, Laut Hitam, dan Pasifik. Sayangnya, persyaratan desain melebihi kemampuan pembuatan kapal Soviet. Soviet tidak bisa memproduksi pelat baja cukup tebal, sehingga perlindungan yang lemah.
Lebih penting lagi, pembuat kapal Soviet tidak memiliki keahlian dalam membangun kapal-kapal besar tersebut. Soviet terpaksa membatalkan program tersebut.
4. H39 (Jerman)
Setelah pembatasan dikenakan pada Jerman oleh Perjanjian Versailles dilanggar, Hitler kemudian berusaha untuk membangun kembali kekuatan angkatan laut Jerman.
Langkah pertama adalah pembangunan dua kapal perang kelas Scharnhorst, diikuti oleh yang jauh lebih besar dan lebih kuat yakni Bismarck dan Tirpitz. Dan selanjutnya merka melangkah pada pembangunan enam kapal kelas H-39.
H39 besarnya mirip dengan Bismarcks, tapi kemungkinan akan lebih unggul dalam beberapa teknologi.
H-39 akan menggusur bobot 57.000 ton, melaju dengan kecepatan 30 knot dengan membawa 8 senjata 16 di empat menara kembar.
Perencana Jerman membangun kapal yang tidak hanya untuk digunakan di laut utara tetapi juga di Baltik untuk mengimbangi kelas Sovetsky Soyuz yang tengah dibangun.
Hanya dua kapal kelas H39 yang ditetapkan ketika kemudian perang dimulai. Pemerintah Nazi memutuskan untuk berkonsentrasi pada prioritas lain, termasuk kapal-kapal kecil dan peralatan untuk Luftwaffe dan Wehrmacht. Bahan yang sudah terkumpul untuk membangun dua kapal rusak dan akhirnya gagal total.
5. A-150 (Jepang)
Pada akhir 1930-an, Jepang memulai sebuah proyek ambisius untuk membangun kekuatan laut guna menguasai dunia. Langkah pertama dalam proyek ini adalah pembangunan lima kapal perang kelas Yamato, yang menjadi kapal perang terbesar di dunia.
Langkah berikutnya kapal kelas A-150 yang jauh lebih besar dari Yamato dengan menggunakan enam senjata 20.1 ” di tiga menara kembar. Senjata ini akan dengan mudah menghancurkan baju pelindung kapal manapun.
Meskipun spesifikasi kapal ini sendiri sampai sekarang masih misterius karena Jepang menghancurkan semua dokumentasi mengenai kapal pada akhir perang. Tetapi diperkirakan kapal ini akan mampu melaju dengan kecepatan 30 knot.
Jepang dimaksudkan untuk melahirkan A-150 pertama pada tahun 1942. Namun kemudian diputuskan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dibutuhkan kapal dukungan yang lebih kecil (belum lagi kapal induk) lebih dari satu set kapal perang. Seiring dengan dua Yamato terakhir, A-150 tidak pernah dibangun.