Pada Perang Dunia II Uni Soviet memiliki senjata yang mengerikan. Sebuah sistem artileri yang bisa memuntahkan 60 roket dengan cepat. Amerika juga memiliki senjata serupa yang dikenal sebagai Calliope Amerika. Dua senjata ini menjadi cikal bakal sistem artileri paling mengerikan di dunia.
Tetapi jika menyusuri sejarah jauh ke belakang, kedua senjata ini justru terinspirasi oleh senjata kuno yang dibangun Korea.
Pada akhir abad ke-14, Dinasti Joseon yang berkuasa di Korea memulai kampanye spionase habis-habisan untuk memperoleh teknologi rudal rahasia dari negara tetangga China.
Pada saat itu, Wokou “perompak kerdil” tanpa kewarganegaraan – disebut demikian karena perawakannya yang relatif pendek – banyak menyerang pantai Korea dari basis di Jepang. Dinasti Joseon mencari artileri yang efektif untuk melawan mereka.
China kemudian menjadi pemimpin global dalam teknologi mesiu dan roket. Namun, roket awal sangat tidak akurat dan kebanyakan hanya berguna untuk membuat kuda unit kavaleri musuh panik. Meski Joseon secara nominal bersekutu dengan Imperial China, orang-orang China tidak mau mentransfer teknologi mesiu ke tetangga timur mereka.
Jadi pada tahun 1377 pemerintah Korea membentuk Kantor Gunpowder Weapons yang mulai secara diam-diam menyelundupkan dokumen rahasia dan sampel mesiu dari China.
Program senjata ini membuat terobosan ketika seorang pedagang China disuap untuk menyerahkan formula bubuk mesiu. Pada saat yang sama, penemu Korea Choe Mu-seon secara independen menemukan cara untuk mensintesis bubuk mesiu dari tanah.
Penemu Korea terus mengembangkan beragam senjata mesiu yang luar biasa termasuk roket peledak yang diluncurkan oleh tabung, meriam chongtong, dan arquebuses – atau senapan laras primitif. Mulai tahun 1380, kapal perang Korea menggunakan senjata mesiu untuk menghancurkan ancaman bajak laut dalam pertempuran laut.
Wokou akhirnya diberantas pada 1419 ketika sebuah armada ekspedisi Korea yang membawa senjata roket melenyapkan kapal perompak dalam sebuah serangan di Pulau Tsushima, Jepang. Tepat sebelum itu, Yi Do dan Choi Hae-san mengembangkan sistem rudal baru yang mematikan yang dikembangkan dari logika jika satu roket hwajon tidak mungkin mencapai sasaran – mengapa tidak menembakkan puluhan atau ratusan sekaligus?
Hwacha adalah salah satu sistem peluncur multi roket pertama di dunia, mengikuti jejak desain China yang serupa namun lebih kecil. Model awal Hwacha bisa melepaskan 50 panah roket sekaligus. Jumlah ini meningkat menjadi 100 pada model Munjong yang dikembangkan pada tahun 1451.
Hwacha terdiri dari gerobak dua roda yang membawa landasan peluncuran di mana deretan slot penembakan ditempatkan. Setiap slot bisa menampung singijeon “magical machine” sepanjang 1,1 meter. Semua proyektil dihubungkan sehingga ketika sekring dinyalakan, mereka semua akan menembak sasaran mereka dalam hitungan detik. Panah tanpa ledakan juga bisa dimuat, atau sampai 200 peluru kaliber besar.
Gagang kayu ek atau pinus dan proyektil mudah dipindahkan ke medan perang dibandingkan dengan sistem artileri besi cor yang berat, dan dua sampai empat awak bisa memiringkan rak ke atas atau ke bawah untuk menyesuaikan jangkauan. Hwachas umumnya efektif pada kisaran hanya 100 sampai 150 meter.
Tes Joseon menunjukkan panah berat bisa menembus perisai dan baju besi pada jarak itu. Namun, saat berada di dataran tinggi dan menggunakan amunisi ringan, proyektil hwacha bisa mencapai jarak 300 atau 500 meter.
Tidak seperti banyak senjata mesiu awal yang dimaksudkan untuk merobohkan dinding yang diperkuat, Hwacha malah digunakan sebagai senjata anti-personel. Dinasti Joseon pada awalnya mengerahkan 130 Hwachas untuk pertahanan Seoul dan perbatasan utara, di mana mereka digunakan dalam pertempuran melawan suku-suku nomaden Jurchen.
Hwacha juga dipasang di kapal perang panokseon Korea yang berbentuk U. Kapal setinggi 70 sampai 100 kaki ini memiliki keelokan datar, sementara pendayung dilindungi di dek tengah yang sebagian besar tertutup. Hwacha cukup ringan sehingga bisa diposisikan di daerah yang paling tepat untuk menembak .