Site icon

Apakah Kemitraan Korea Selatan-Indonesia untuk Bangun KF-X Berantakan?

Kemitraan pengembangan jet tempur KF-X antara Korea Selatan dan Indonesia dilaporkan compang-camping. Baik sumber di Jakarta maupun Seoul menyebutkan banyak masalah terkait program tersebut.

Indonesia dilaporkan memiliki keluhan tentang kontraknya dengan Korea Selatan terkait keuntungan teknis dan lisensi ekspor dari jet tempur, yang di Indonesia dijuluki sebagai IF-X tersebut.

Indonesia, yang merupakan mitra ekspor senjata utama dengan Korea Selatan, adalah mitra asing satu-satunya untuk mendanai 20 persen dari proyek KF-X dengan total nilai US$ 7,5 miliar.

Pada 1 Mei 2018, kantor berita Antara melaporkan bahwa Kementerian Pertahanan Indonesia sedang menegosiasikan kembali program pengembangan jet tempur tersebut.

“Negosiasi ulang diperlukan untuk memperjelas keuntungan Indonesia dari program ini, karena proyek akan dibiayai dengan dana dari anggaran negara,” kata juru bicara Kementerian Pertahanann Brigjen. Jenderal Totok Sugiharto seperti dikutip Antara.

Totok mengatakan Indonesia tidak boleh menjual pesawat IF-X ke negara lain atau secara lokal menghasilkan beberapa komponen karena pembatasan kontrak.

Dia menambahkan negaranya tidak melihat masa depan untuk kerjasama, sebagian karena intervensi Amerika yang membatasi penelitian yang akan membantu menghasilkan pesawat. Namun dia berharap berharap program bersama itu akan terus berlanjut.

Sebelumnya, prospek penghentian partisipasi Jakarta dalam IF-X meningkat setelah pemerintah Indonesia gagal membayar sekitar US$ 130 juta untuk kontribusinya, yang jatuh tempo pada bulan Desember 2017.

Sekitar 80 pekerja Indonesia yang mengambil bagian dalam pengembangan dan produksi IF-X juga telah kembali ke rumah awal tahun ini, memicu spekulasi bahwa ada sesuatu yang serba salah.

Seorang insinyur Korea Aerospace Industries, atau KAI, sebagaimana dikutip Defense News Selasa 8 Mei 2018 mengatakan insinyur Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan mengalami kesulitan untuk mempelajari dan meneliti teknologi kunci KF-X.

“Terus terang, delegasi Indonesia dibatasi untuk mengakses banyak bagian dari teknologi dan studi KF-X, terutama dari yang berkaitan dengan Amerika ,” kata insinyur tersebut kepada Defense News, yang berbicara tanpa menyebut nama.

“Mengingat Indonesia memasok seperlima dari biaya pengembangan KF-X, masuk akal dalam beberapa hal bahwa insinyur Indonesia merasa tidak mendapat keuntungan teknis melalui program bersama.”

Program tempur KF-X, juga didanai oleh pemerintah Korea Selatan dan KAI, melibatkan integrasi teknologi canggih Amerika, termasuk mesin, persenjataan, sistem kontrol penerbangan dan lainnya.

Pada bulan Januari, sebuah delegasi dari Badan Keamanan Teknologi Pertahanan Amerika atau Defense Technology Security Administration  mengunjungi Badan Pengembangan Pertahanan Korea Selatan dan KAI untuk meninjau masalah transfer teknologi KF-X.

“Memang benar bahwa insinyur AS yang dikirim ke markas KAI tentang kemungkinan kebocoran teknologi sensitif Amerika untuk pekerja Indonesia,” tambahnya.

Defense Acquisition Program Administration atau DAPA Korea Selatan, menyangkal spekulasi bahwa kemitraan KF-X dengan Indonesia sedang bermasalah.

“Meskipun ada laporan media tentang masalah KF-X, Indonesia belum memberi tahu kami tentang masalah dengan negosiasi ulang atau penghentian kerjasama KF-X,” kata juru bicara DAPA, Kang Hwan-Seok.

“Kami diberitahu bahwa pemerintah Indonesia menunggu persetujuan parlemen untuk membayar biaya pengembangan yang belum dibayar.”

Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu juga menepis kekhawatiran tentang kemungkinan pecahnya kolaborasi KF-X.

Ryamizard dikutip oleh Antara mengatakan pada 4 Mei bahwa program pengembangan jet tempur bersama akan berlanjut mengingat Indonesia sudah menggelontorkan sekitar Rp3 triliun (US $ 215 juta) hingga hari ini.

Berdasarkan kesepakatan 2016, Indonesia bergandengan tangan dengan Korea Selatan untuk mengembangkan pesawat tempur generasi 4,5 dengan investasi sekitar US$ 1,3 miliar oleh PT Dirgantara Indonesia.

Sebanyak enam prototipe akan dibangun, dengan uji terbang pertama dijadwalkan pada 2022. Pengembangan akhir diharapkan akan selesai pada 2026 untuk menggantikan armada F-4 dan F-5 Angkatan Udara Korea Selatan. Indonesia membutuhkan setidaknya 50 IF-X yang akan diproduksi di Indonesia.

Terlepas dari upaya kedua pemerintah untuk menenangkan kontroversi kemitraan KF-X, para ahli di Seoul mengantisipasi lebih banyak sengketa.

“Jika Indonesia bersikeras melakukan renegosiasi untuk menjual jet IF-X ke negara lain, pemerintah Korea Selatan akan menyukai permintaan tersebut karena Korea Selatan mungkin mengalami kesulitan menjual KF-X yang dipengaruhi oleh kebijakan perlindungan teknologi Amerika, ”kata Kim Dae Young, seorang peneliti dari Institut Strategi Keamanan Nasional yang berbasis di Seoul.

“Bagi Jakarta, faktor geopolitik dapat menjadi penghambat untuk melanjutkan program bersama,” kata peneliti tersebut, mengacu pada hubungan militer-teknis jangka panjang Indonesia dengan Rusia.

Tahun lalu, Indonesia memutuskan untuk membeli 11 pesawat tempur Su-35 yang akan dikirimkan tahun ini.

Exit mobile version