Masalah dengan menebarkan ranjau dari udara adalah bahwa hal itu sulit dan berbahaya, membutuhkan pesawat terbang tingkat rendah untuk melawan pertahanan udara musuh.
Sebelumnya menebarkan ranjau dari udara harus dilakukan dengan terbang rendah dan lambat. Teknik yang pada dasarnya sama seperti yang B-29 lakukan ketika menebar ranjau di Laut Jepang pada tahun 1945.
Sulit untuk menjatuhkan ranjau pada posisi yang tepat jika pesawat terbang tinggi dan cepat. Sebuah B-52 bisa mejatuhkan ranjau pada ketinggian 500 kaki dan kecepatan 320 knot. Tetapi ini terlalu lambat dan tidak aman untuk sebuah pesawat tempur atau Bomber B-1B.
F/A-18 dan P-3 mempekerjakan profil yang sama, pesawat harus terbang rendah dan lambat. Dan hal ini yang diduga telah menjadi penyebab hilangnya satu pesawat dan kru di Desert Storm hanya untuk menebarkan ranjau. Belum lagi jika lokasi yang dituju penuh dengan ancaman senjata antipesawat
Tapi sistem penebaran ranjau baru ini telah mengubah permainan. Banyak pesawat taktis Amerika termasuk bomber B-1 telah mampu membawa rudal JDAM. Dan mereka dengan mudah akan bisa menebarkan ranjau laut.
“Tidak ada perbedaan antara meluncurkan JDAM terhadap target darat dengan menjatuhkan ke laut. Tidak ada pelatihan tambahan untuk menjatuhkan ranjau, “tulis Pietrucha sebagaimana dikutip National Interest .
Menebarkan ranjau dari ketinggian juga memungkinkan awak pesawat untuk menjatuhkan beban mereka jauh dari luar pertahanan udara musuh.
Ancaman konflik di Laut China Selatan telah memfokuskan perhatian pada senjata berteknologi tinggi seperti F-35 dan kapal pembunuh rudal balistik China. Tapi Sebenrnya ranjau JDAM adalah teknologi yang cukup murah. Ranjau Quickstrike – bom 2.000 pon yang dikonfigurasi sebagai senjata bawah air dibuat pada 1983, sementara kit JDAM hanya membutuhkan biaya sekitar US$ 20.000.