Sehari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948, Angkatan Udara Mesir mulai menyerang Tel Aviv. Secara mengejutkan negara Yahudi ini mengerahkan tiga bomber B-17 Flying Forterss. Dari mana Israel mendapatkan pesawat tersebut?
Jawabannya mudah, jelas dari Amerika Serikat. Tetapi bagaimana proses pengiriman pesawat tersebut menjadi sangat menarik untuk diungkap karena melalui sebuah operasi rahasia yang cukup menegangkan.
B-17 Flying Fortress pembom diperoleh berkat Al Schwimmer, seorang insinyur penerbangan anggota Angkatan Udara Amerika Serikat. Pada tahun 1947 dia membeli dan mengirimkan empat pesawat ini ke Israel. Schwimmer (pendiri dan CEO pertama dari Israel Aerospace Industries).
Seperti dilansir Bill Norton dalam bukunya Air War on the Edge, A History of the Israel Air Force and its aircraft disebutkan dua B-17 (44-83851 dan 44-83753) diperoleh dengan harga 30.000 USD dari Charles Winters. Awalnya pesawat ini digunakan untuk bisnis angkutan antara Florida dan Puerto Rico. Sementara dua lainnya dibeli dari Donald H. Roberts of Tulsa. Keempat B-17 yang terdaftar secara hukum, dimodifikasi menjadi pesawat komersial.
Proses pengiriman pun dilakukan dalam misi panjang dan berbahaya. Rute yang direncanakan adalah dari Miami ke San Juan, Puerto Rico. Kemudian dari San Juan ke Santa Maria, Azores dan dari Azores ke Zatec Cekoslowakia. Total jarak yang ditempuh adalah 10.600 kilometer dengan lama penerbangan 38 jam di atas Samudera Atlantik dan Rusia.
Tiga B-17 pertama lepas landas pada 11 Juni 1948. David Goldberg mantan pilot B-24 Angkatan Udara Italia menjadi salah satu kopilot pesawat yang dikirim. Dia mengaku dihubungi seseorang untuk membawa pesawat ke Eropa dengan gaji $1.000.
”Aku dengan yakin menyanggupinya. Tetapi ketika mau berangkat saya diminta jadi kopilot karena yang akan jadi pilot adalah Kolonel B yang sudah pernah menerbangkan B-17. Tetapi gaji tetap sama jadi saya setuju,” katanya.
Penerbangan dari Miami ke San Juan, Puerto Rico berjalan dengan lancar. Tetapi selanjutnya menjadi horor. Ketika hendak berangkat dari San Juan, Kolonel dalam kondisi mabuk berat hingga Goldberg yang lebih banyak d uduk di kursi pilot.
”Dari San Juan kami menuju ke Azores Islands dengan 21 jam penerbangan. Ketika sudah 10 jam terbang Kolonel B datang untuk menggantikan saya. Lalu saya pun tidur.”
Ketika terbangun betapa terkejutnya Goldberg karena mendengar teriakan yang mengatakan Cohen, navigator, telah jatuh melalui bagian kaca depan yang berada di bagian lantai hidung pesawat. Tempat ini sebenarnya digunakan untuk membuat foto udara. Orang tersebut perlahan-lahan tersedot oleh slipstream.
”Aku berlari kembali ke kokpit karena tiba-tiba pesawat mendarat. Aku melihat Kolonel lemas dan gemetar. Kemudian aku menangani pesawat dan mengambil posisi autopilot dan turun kembali untuk membantu menarik navigator. Tetapi gagal. Kami kehilangan dia,” terangnya lagi.
Ketika pesawat masuk wilayah Portugis, mereka sudah bisa menemukan sinyal kontak dengan Santa Maria. Hal itu terjadi setelah 20 jam penerbangan. Tetapi cuaca telah berubah buruk. Pulau ini ditutupi dengan pegunungan. Kolonel kemudian mengumumkan bahwa pendekatan instrumen akan terlalu berisiko, sehingga ia akan melakukan pendaratan darurat di lepas pantai.
”Saya mengatakan bahwa itu gila. Saya katakan akan melakukan pendekatan ke landasan. Tetapi dia tidak mau beranjak dari kursi kiri (kursi pilot). Aku ambil alat pemadam kebakaran dan mengancam akan memukul kepalanya jika tidak segera pergi. Akhirnya dia pun pergi dan kami bisa melakukan pendaratan dengan selamat. Selanjutnya aku menyelesaikan sisa penerbangan ke Cekoslowakia sendirian di kokpit! ”