Stasiun Ruang Angkasa Tiangong-1 Segera Hantam Bumi
Tiangong-1

Stasiun Ruang Angkasa Tiangong-1 Segera Hantam Bumi

Para ahli memperkirakan stasiun luar angkasa Tiangong-1 milik China akan menghantam bumi antara 30 Maret dan 6 April.

The Aerospace Corporation, sebuah perusahaan riset dan konsultan penerbangan ruang angkasa yang berbasis di Amerika, memprediksi bahwa benda seberat 8,6 ton itu kemungkinan besar akan jatuh pada 4 April di suatu tempat di area antara 43 derajat lintang utara dan 43 derajat lintang selatan.

Sebuah laporan dari China National Space Administration pada tahun 2016 mengungkapkan bahwa Tiangong-1 tidak dapat lagi dikendalikan.

Untungnya, sebagian besar satelit akan terbakar selama turun, tetapi potongan sebesar 220 pon masih dapat meluncur engan kecepatan yang sangat tinggi.

Stasiun ruang angkasa juga dilaporkan mengandung komponen bahan bakar roket beracun yang disebut hidrazin yang bisa berbahaya bagi mereka yang menyaksikan kepingan satelit jatuh dari langit.

“Ada kemungkinan bahwa sejumlah kecil puing-puing Tiangong-1 dapat bertahan sampai darat dan mempengaruhi tanah,” lapor Aerospace Corporation awal bulan ini.

“Ketika mempertimbangkan lokasi kasus terburuk  kemungkinan bahwa orang tertentu akan menjadi sasaran puing-puing Tiangong-1 adalah 1 berbanding 1 juta atau lebih kecil dibandingkan kemungkinan mendapatkan jackpot Powerball,” kata organisasi itu.

Sebelumnya para ilmuwan China juga menjamin jatuhnya stasiun luar angkasa milik China Tiangong-1 tidak mengakibatkan kerusakan pada bumi dan tidak mengancam kelangsungan hidup penghuninya.

Saat ini stasiun luar angkasa pertama  China itu dalam kondisi stabil di orbitnya. Pemimpin Teknis Lembaga Ilmu Pengetahuan Luar Angkasa dan Teknologi China (CASTC) Zhu Congpeng memperkirakan stasiun luar angkasa itu akan menyentuh atmosfer pada semester pertama tahun ini setelah sudah tidak lagi mengirimkan data kembali ke bumi pada Maret 2016 yang berarti secara resmi telah berhenti menjalankan misinya.

China terus memantau kondisi Tiangong-1 yang diluncurkan pada 29 September 2011 itu. Stasiun luar angkasa itu akan terbakar habis saat memasuki lapisan udara yang menyelubungi bumi atau atmosfer.

Serpihan benda antariksa nirawak tersebut akan jatuh ke area yang sudah ditentukan, yakni lautan, tanpa memberikan ancaman sedikit pun terhadap bumi, demikian penuturan Zhu kepada People’s Daily.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari teknisi Lembaga Nirawak Luar Angkasa setempat menyebutkan bahwa pada 4-11 Maret 2018, Tiangong-1 dalam kondisi stabil di orbitnya dengan ketinggian rata-rata 244,5 kilometer.

Rentang orbit stasiun luar angkasa itu berada pada kisaran 43 derajat lintang utara hingga 43 derajat lintang selatan, tulis The Guardian, harian berbasis di London.

Hal itu berarti orbitnya membentang luas di atas kawasan Amerika Utara, Amerika Selatan, China, Timur Tengah, Afrika, Australia, sebagian Eropa, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik.

Pakar luar angkasa, Pang Zhihao, mengemukakan bahwa sesuai tradisi yang berlaku secara internasional biasanya bekas pesawat luar angkasa yang berada di orbit dekat bumi dibiarkan jatuh hingga dasar lautan di Samudra Pasifik yang jauh dari wilayah daratan.

Dasar lautan yang disebut sebagai kuburan pesawat luar angkasa itu juga sebelumnya menjadi “tempat peristirahatan terakhir” bagi stasiun luar angkasa MIR dan program luar angkasa Rusia serta Observatorium Compton Gamma Ray milik Amerika Serikat, demikian Pang sebagaimana dikutip Global Times.

Seperti diberitakan Antara sebelumnya, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa jatuhnya Tiangong-1 tidak dapat diicegah.

Namun Kepala Lapan Thomas Djamaluddin meminta media dan pengamat agar tidak berandai-andai yang justru berpotensi meresahkan masyarakat, apalagi jatuhnya pesawat atau stasiun luar angksa telah beberapa kali terjadi sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

Kalaupun nanti di wilayah Indonesia, dia memperkirakan lokasi jatuhnya Tiangong-1 di kawasan tidak berpenghuni karena wilayah permukiman Indonesia jauh lebih kecil daripada luas lautan, hutan, dan gurun.