15 Tahun Lalu Amerika Membuat Dosa Terbesar Abad ke-21
Pasukan Amerika saat operasi Pembebasan Irak

15 Tahun Lalu Amerika Membuat Dosa Terbesar Abad ke-21

20 Maret 15 tahun lalu, Irak dilemparkan ke jurang kehancuran ketika pemerintahan Amerika di bawah George W Bush meluncurkan salah satu invasi paling merusak dalam sejarah modern.

Dalam pidatonya dimulainya Operasi Pembebasan Irak atau Operation Iraqi Freedom, Presiden Bush mengatakan kepada warga Irak bahwa “hari pembebasan mereka sudah dekat”. Tetapi dengan dalih menjadi benteng bagi demokrasi dan hak asasi manusia di wilayah tersebut, Irak telah hancur akibat intervensi militer dan jutaan orang Irak telah mengalami kengerian.

Negara ini telah dilanda perang, dan berubah menjadi zona konflik dari utara ke selatan, dan timur ke barat. Negara ini dikoyak-koyak karena kelompok militan yang bersaing, kekuatan asing dan partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengorbankan rakyat Irak.

“Tidak hanya mempengaruhi warga Irak – yang cukup mengerikan – invasi telah membawa dampak global. Kegagalan besar upaya Amerika untuk mengekspor demokrasi ke Irak memungkinkan impor ideologi garis keras ke negara itu,” tulis Tallha Abdulrazaq, peneliti di Institut Strategi dan Keamanan Universitas Exeter di Al Jazeera, Senin 20 Maret 2018.

Efek dari invasi Irak menyebabkan krisis merembet hingga Eropa yang menjadi tujuan ratusan ribu pengungsi.

Meskipun tidak ada keraguan bahwa rezim Ba’ath pimpinan Sadam Hussein sangat keras dan bahkan menindas, tetapi yang menggantikannya terbukti lebih buruk.

Al-Qaeda dianggap sebagai ancaman eksistensial di Ba’athist Irak dan diburu, tetapi kelompok itu menemukan lahan rekrutmen yang subur di negara itu setelah invasi. Mereka menggunakan “perang melawan teror” yang didengungkan Bush sebagai sebuah seruan “perang salib” hingga mengundang pejuang di seluruh dunia untuk bergabung dengan perjuangan mereka.

Al-Qaeda hampir tidak ada di Irak sebelum tahun 2003, tetapi menjadi kekuatan besar setelah invasi dan meningkatkan tingkat rekrutmen global secara substansial. Itu adalah kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh invasi yang memungkinkan orang-orang seperti Abu Musab al-Zarqawi untuk menjadi panglima perang yang kuat hampir dalam semalam.

The Lancet menerbitkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa hingga tahun 2006, sekitar 655.000 orang Irak telah tewas sebagai akibat langsung dari invasi tersebut. Penasihat kementerian pertahanan Inggris, Sir Roy Anderson, memuji penelitian itu sangat kuat dan kredibel.

Jumlah korban tewas, sekarang, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat pada tahun 2006. Kekerasan dipercepat dan pelanggaran hak asasi manusia yang memburuk selama perang saudara yang mengikuti invasi serta munculnya ISIS pada 2014.

Sementara itu, ribuan orang Irak dipaksa meninggalkan negara mereka yang rusak untuk mencari keselamatan dan keamanan di tempat lain, dengan beberapa menemukan tempat perlindungan di negara tetangga Suriah, Yordania dan Turki, sementara yang lain berjalan ke Eropa, menetap di kota-kota seperti Malmo, Swedia dengan  menghadapi banyak sekali kesulitan baru dan pelecehan.

Politisi Irak Mahmoud Anwar secara khusus menunjuk upaya Washington untuk mencapai ambisi Timur Tengah pada tahun 2003 sebagai penyebab kekacauan Irak.

Berbicara kepada Sputnik Senin, Riyad Saidawi, kepala Pusat Penelitian Arab di Jenewa, mengatakan bahwa ketika menduduki Irak pada tahun 2003, Amerika “memberikan pukulan kepada pasukan keamanan, intelijen dan tentara negara itu, yang kemudian memunculkan ruang hampa.”

“Dalam rangka untuk menghadapi kejahatan penjajah, gerakan perlawanan diciptakan di Irak. Di lingkungan ini, para ekstremis menemukan lahan subur untuk propaganda dan pertumbuhan jumlah pendukung. Mereka mampu memperoleh senjata yang cukup mudah untuk mendapatkan, “kata Saidawi.

Dia menambahkan bahwa “Amerika memprovokasi tingkat ketegangan dan konfrontasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam masyarakat Irak, terutama atas dasar agama.”

Hal yang sama juga dikatakan ahli tentang kelompok ekstrimis dari Mesir Ahmed Ban. “Kejahatan orang Amerika di Irak telah menjadi motif utama untuk tindakan balas dendam. Balas dendam menjadi platform untuk melahirkan ISIS,” katanya.

Tidak ada senjata pemusnah massal

Operasi Pembebasan Irak diluncurkan bertujuan untuk menggulingkan Saddam Hussein, yang dituduh Washington mengembangkan, menyimpan, dan berencana menggunakan senjata pemusnah massal. Hal itu diumumkan Presiden AS George W. Bush pada 20 Maret 2003.

Tetapi faktanya senjata kimia itu tidak pernah ditemukan. “Sudah berulang kali dinyatakan bahwa Saddam Hussein tidak memiliki senjata pemusnah massal. Amerika tidak mencari senjata ini seperti yang mereka klaim tetapi mereka membutuhkan alasan untuk menghancurkan Irak. Amerika berusaha mencapai ambisi mereka di Timur Tengah,” Anwar menyimpulkan.

Jajak pendapat yang dilakukan lembaga survey ternama, Pew bertepatan dengan 15 tahun invasi Irak menunjukkan sebanyak 48 persen responden mengatakan Amerika membuat keputusan yang salah dalam menggunakan kekuatan militer di Irak, sementara 43% mengatakan bahwa itu adalah keputusan yang tepat.

Jajak pendapat, yang dilakukan dari 7-14 Maret, menemukan bahwa lebih dari separuh orang Amerika (53%) percaya bahwa sebagian besar Amerika gagal mencapai tujuannya di Irak. Hanya 39% yang mengatakan mereka pikir itu sebagian besar berhasil.

Jika dibandingkan pada 2003 saat operasi digelar hampir tiga perempat (74%) responden pada Mei 2003 mengatakan bahwa mereka mengira invasi Amerika adalah keputusan yang tepat. Angka tersebut turun ke titik terendah dalam catatan Pew yakni 36% – pada akhir Desember 2007 dan belum pernah di atas 50% sejak Februari 2006.

Perang di Irak berlangsung selama hampir sembilan tahun yakni sampai Desember 2011, ketika tentara Amerika terakhir di negara tersebut melintasi perbatasan ke Kuwait.  Tetapi samapi saat ini Amerika masih memiliki kehadiran militer di negara ini terutama untuk melawan ISIS.