5. Revolusi Kebudayaan (1966-1976)
Setelah memimpin Komunis Cina memenangkan perang saudara melawan Nasionalis (1949), Mao Zedong melakukan perombakan radikal terhadap struktur pertanian dan industri yang dikenal dengan Great Leap Forward (1958-1961).
Hasilnya adalah bencana. Puluhan juta kelaparan pada era yagn disebut “Great Famine”. Pejabat awalnya enggan untuk melaporkan kebenaran karena takut dianiaya, tetapi ketika tingkat bencana sudah tidak bisa ditutupi, tokoh moderat seperti Deng Xiaoping mulai menepi dari kekuasaan Mao.
Mao menanggapi dengan meluncurkan “Great Proletarian Cultural Revolution,” atau revolusi kebudayaan proletar di mana siswa didorong untuk putus sekolah dan bergabung dengan paramiliter Red Guards atau Tentara Merah.
Pasukan ini sangat kejam. Mereka mempermalukan, menyiksa, dan dibunuh siapa pun yang dianggap sebagai pendukung “feodalisme” atau “kapitalisme.”
Lawan politik Mao dengan cepat dibersihkan sebagai bagian dari “kontrarevolusioner,” meninggalkan dia sebagai pemimpin tanpa lawan di China.
Mengapa itu penting? Setelah kematian Mao pada tahun 1976, Deng Xiaoping memimpin China dalam arah yang jauh lebih moderat, dan aspek penting dari pemerintahannya telah mengakui kesalahan Mao.
Slogan resmi adalah bahwa Mao 70% benar dan 30% salah. Namun, China terus bergulat dengan warisan Mao. Mao mendirikan Republik Rakyat China, sehingga untuk benar-benar menolak mengingkari Komunisme.
Partai Komunis ditenun terlalu erat ke dalam kain pemerintah kala itu. Namun, hampir tidak dikenali sebagai pemikiran “Mao Zedong” dalam praktek sebenarnya dari masyarakat, budaya, dan ekonomi Cina. Meskipun demikian, dukungan untuk Mao tetap ada setidaknya sebagai simbol.